Cerita
Pendek karya Helvy Tiana Rosa
Apakah
bintang masih ada di langit yang sama? Mak pernah berkata bintang-bintang dan
rembulan itu akan selalu berpendar di langit, dan aku bisa menyaksikannya
selama malam masih ada. Mak bilang aku dapat merasakan hangat matahari selama
pagi dan siang setia mengunjungi bumi. Aku juga menyukai kilat yang datang kala
hujan menderas, walau seharusnya mereka tak perlu menggelegar. Cukup beri
cahaya, pendar meski sesaat.
Tapi
entah sejak kapan, hidupku dipenuhi gelegar kilat semata. Aku tahu itu bukan
pertanda datangnya hujan, saat semua orang di sekitarku menangis, berlari
sambil melolong ketakutan. Lalu satu-satu dari mereka jatuh menggelepar dengan
tubuh bolong dan berdarah.
Sejak
saat itu, bintang, bulan dan matahari tak pernah ada di langitku. Hanya senapan,
bom, darah, air mata dan nestapa saat aku menatap tanah yang kuinjak atau
langit di atas kepalaku. Saat Mak dan Abu tak lagi bersuara selamanya karena
harus ditanam dalam tanah. Tak ada apapun kecuali perih yang menyebar begitu
cepat.
Dan
perih itu semakin mengganas menggerogotiku saat maha gelombang itu datang. Mereka
menyebutnya tsunami. Namun nama itu terlalu sederhana dibandingkan dengan apa
yang dapat dilakukannya. Tsunami meruntuhkan semua bangunan, gedung bertingkat,
bahkan menara. Ia menggulung segala dan hanya menyisakan sedikit puing di
antara genangan air, untuk kupandangi atas nama kenangan. Dua Cut Abang-ku
hilang. Mungkin mati.
Di
dekat bundaran Lambaro itu seakan masih kulihat tumpukan mayat-mayat hitam yang
berjajar. Ketika sadar, meski belum pulih, aku memaksakan diri mencari sosok
Cut Abang disana. Siang, senja hingga malam datang dan aku harus menggunakan
senter untuk mencari wajah yang kuakrabi bertahun-tahun itu. Pada mayat
keseratus, aku menyerah. Tak ada Cut Abang. Dan aku tak mampu mencarinya lagi
di antara ratusan mayat lain yang tersisa. Tanganku penuh lumpur, kebas, dan
seakan tak bisa lagi digerakkan. Tangan itu kecil dan seakan semakin mengecil. Tak
mungkin lagi aku menjamah bukit mayat dan memeriksa sosok di sana satu persatu.
Hanya tangisan tanpa air mata dan rasa mual yang mengaduk perut sampai kepala.
“Adik
sayang, kamu melamun lagi?”
Sapa
lembut itu menyejukkanku. Cut ISma. Aku selalu menyukainya. Di wajah Cut Isma
banyak bintang, begitu terang. Senyumnya mengingatkanku pada setengah garis
lingkaran yang dibuat ibu guru di sekolah, atau seperti lengkungan pelangi terbalik.
Cut Isma selalu tersenyum dengan hati. Dan kerudung putihnya lucu sekali,
karena sering meliuk-liuk ditiup angin kencang yang selalu datang setelah
tsunami melanda.
Cut
Isma masih kuliah tingkat akhir di Fakultas Kedokteran Syiah Kuala. Di sela
waktunya, ia rutin ke pengungsian dan bersama Di serta teman-teman mereka yang
lain, membagikan cinta kepada kami.
“Lihat,
siapa itu?” katanya berbinar namun dengan kening sedikit dikerutkan.
“Di!
Di!” Aku ingin melompat setinggi-tingginya dan memeluk laki-laki yang baru
turun dari mobil putih rumah sakit itu.
“Apa
kabar Cut Nyak Dhien?”
Lon baik. Lon….
“Apa kamu sudah makan, Cut Nyak?”
Aku
mengangguk, tak bisa menahan tawa yang membuncah setiap kali melihatnya.
“Jalan-jalan?”
ajaknya
Aku
mengangguk lagi.
Dan
seperti senja-senja yang lalu, lelaki itu menggandengku pergi. meninggalkan Cut
Isma yang melambaikan tangannya pada kami.
Sebenarnya
aku sudah lama mengenal Di, dokter muda dari Jakarta itu. Aku bertemu dengannya
di dekat masjid Baiturrahman. Ia bilang, ia menemukanku pingsan di jalan. Aku
tak ingat apa yang terjadi kecuali samar. Mak dan Abu terkapar di depan perahu
besar yang tiba-tiba sudah berada di darat. Cut Abang hilang dibawa arus yang
menggila. Seperti seekor sapi yang sekarat, aku hanya bisa melenguh. Beberapa orang
menyeretku ke pinggir sesudah seseorang berteriak, “Dia masih hidup!” Lalu aku
tak ingat apa-apa lagi.
Aku
selalu ingin menangis saat teringat akan hal itu. Tapi air mata telah berubah
menjadi lara yang menyergapku dalam setiap cuaca.
“Siapa
namamu?”
Aku
tahu namaku tapi aku tak mau mengingatnya. Tidak, sebenarnya aku tak ingat
namaku. Aku ingin menjadi orang lain saja. Aku merasa sudah mati.
“Sayang,
siapa namamu?”
Aku
hanya diam dan tak pernah menjawab kala ia menanyakan namaku.
Sekian
lama dokter Di merawatku. Di membalut sendiri perban di kepala, lengan, dan
kakiku. Lambat laun kami menjadi sangat dekat. Kami seperti teman. Makanya ia
memintaku untuk memanggilnya Di saja. Sedang Di memanggilku “Cut Nyak Dhien.”
Mengapa
Di memanggilku Cut Nyak Dhien? Aku selalu ingin bertanya padanya.
Dan
seperti bisa menebak pikiran ini, suatu hari ia tersenyum lebar seraya
menjelaskan, “Di pernah membaca, Cut Nyak Dhien itu artinya ‘gadis kecil yang
manis’. Jadi Di memanggilmu itu saja, sampai
kamu ingat namamu. Lagi pula siapa tahu suatu saat kamu menjadi Cut Nyak
Dhien baru yang membangkitkan Aceh kita sekali lagi! Ya, kan?”
Aku
ingin menangis waktu Di berkata seperti itu. Dulu setiap mau tidur, Mak sering
menceritakan tentang para perempuan pahlawan Aceh. Ada Cut Nyak Dhien, Cut Nyak
Meutia, Pocut Meurah INtan, Pocut Baren, Keumalahayati, Sultanah Safiatuddin
Syah, dan masih banyak lagi. Karena itu Mak memanggilku… ah, aku taj juga bisa
mengingat namaku. Aku tak mau. Biar kuingat saja nama-nama pahlawan perempuan
itu
Dan
Di?
Ia
sering menceritakan hal yang membuatku tertawa atau membuat wajahnya yang
tampan terlihat lucu. Di sangat menyukai anak-anak yang dijumpainya di mana
saja. Juga yang kini tinggal di tenda-tenda pengungsian yang disebut Cut Isma “tempat
penampungan yang tercinta” itu.
Betapa gembira bila aku bersama Di.
Aku ingin selamanya Di tinggal di sini, di dekatku. Rasa tak enak tinggal
berhimpit dan kedinginan dalam tenda tak ada artinya bila Di ada. Aku tak punya
siapapun di sini, kecuali Di. Ya, Di dan Cut Isma. Orang menyebut mereka
relawan karena mereka selalu rela melakukan apa saja untuk membantu kami di
pengungsian. Aku tak bisa membayangkan bila aku tak bertemu mereka.
“Cut Nyak Dhien, ini rahasia antara
kita, ya. Di suka sekali dengan perempuan Aceh. Mereka kuat, tegar, berjilbab.
Ya, seperti Cut Nyak ini!” kata Di suatu hari.
Aku terbelalak sesaat. Di orang
jawa. Dia suka perempuan Aceh. Perempuan
Aceh akan suka pada Di!.
“Tapi menurut Cut Nyak, apa
perempuan Aceh suka pada lelaki Jawa?” mata Di berkedip tak yakin.
“Ya, memang ada yang suka dan ada
yang tidak. Kalau Cut Nyak Dhien?”
Aku mengangguk kuat-kuat.
Di tertawa. “Gadis kecil manisku, Di
akan pergi mencari mie Aceh kesukaanmu. Ayo ikut! Kita ajak teman-temanmu yang
lain!”
Tak ada hujan. Tapi hari-hari dengan
Di menyebabkan pelangi. Dengan Di aku bisa menjadi Cut Kak bagi puluhan
pengungsi kecil tak berayah ibu, yang tinggal di tenda sekitarku. Kami belajar,
mengaji, dan bernyanyi bersama.
Di juga yang mengingatkanku untuk
shalat tepat waktu dan tak henti berdoa.
“Setiap orang baik akan bertemu
dengan orang baik lain yang dicintainya di surga,” ujar Di. “Itu janji Allah.”
Kami semua lalu berdoa bersama, agar
kelak diperkenankan bertemu Mak, Abu. Abang, kakak atau adik kami di Jannah. Diam-diam
aku selalu menambahkannya lebih panjang. Aku ngin bersama dengan Di dan Cut
Isma juga di surga nanti.
Tak terasa, hampir dua bulan tsunami
berlalu. Selama itu pula aku belum pernah lagi melihat hujan atau pelangi. Aku masih
tak bisa, tak mau mengingat namaku. Bayang wajah Mak, Abu, dan Cut Abang masih
muncul setiap jam. Tsunami mengejarku hingga ke dalam mimpi, namun Di dan Cut
Isma menyelamatkanku.
Hari ini aku melihat Di tak seperti
biasa. Ia sangat rapi dan harum. Ia datang ke dalam tenda kami sambil membawa
koper dan ransel besarnya. Aku hampir menangis saat Di bilang ia harus pergi.
Mengapa? Tanyaku. Mengapa Di harus
pergi? bukankah Di ingin tahu namaku.
“Ada yang harus Di kerjakan, Cut
Nyak. Jangan bersedih, suatu saat Di akan kembali.”
Lon ingin
ikut. Mataku berputar-putar, menengadah. Sebentar lagi air mataku akan tumpah
dan aku tak boleh membiarkannya.
“Di pergi bersama Cut Isma.”
Cut Isma. Jangan. Lon tak ingin Cut Isma pergi juga.
“Cut Nyak pasti tak mengira. Kami akan
menikah. Dan Cut Nyak Dhien yang telah mempertemukan kami.”
Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Tak
boleh. Jangan, jangan pergi. jangan menikah.
Lon ingin
ikut.
“Kalau kami kembali, kami berjanji
akan melihat Cut Nyak.”
Lon belum nama Lon. Jangan pergi. suaraku tersekat. Selalu.
Tiba-tiba Cut Isma muncul dengan
wajah bintangnya. Ia memelukku erat dan menciumi kedua pipiku.
Sore itu angina bertiup kencang. Dari
baik tenda yang kumuh, aku menatap Di dan Cut Isma berjalan meningggalkan
tempat pengungsian. Sesuatu merembesi batin. Ya, kesunyian yang tak pernah
gagal merayapiku itu datang kembali. Cinta yang mulai kutanam berserakandi
antara reruntuhan kalbuku. Dan kini aku sendiri di sini bersama para pengungsi
yang merintih setiap hari.
Tak ada lagi yang akan menanyakan
nama atau memanggilku Cut Nyak Dhien. Tiba-tiba aku teringat lagu yang pernah
dinyanyikan Mak dalam sepi. Lagu tentang “gadis kecil yang manis.” Cut Nyak
Dhien.
Saat itu aku ingat namaku. Aku harus
terus mengingatnya, memakainya. Aku harus senang saat orang-orang memanggilku
dengan nama itu di tengah ketakberdayaan yang beranak pinak dalam diriku.
Cut Nyak Dhien, Mak dan Abu ingin aku seperti Cut Nyak Dhien!
Tapi siapa peduli? Adakah yang peduli bila aku juga mampu mengingat semua nama
anggota keluargaku yang tewas? Adakah yang peduli bilau aku ingin seperti Cut
Nyak Dhien?
Mataku menghangat. Basah.
Aku hanya gadis kecil usai 12 tahun
yang dipenuhi lara. Bahkan mengucapkan nama diri dengan bibirku sendiri aku tak
mampu. Hanya satu suara yang bisa keluar dari kerongkonganku: “Di!”
Untuk pertama kalinya setelah
tsunami, gerimis turun senja itu. Tapi di Nanggroe yang terluka, hujan tak
pernah menjanjikan pelangi atau sebuah nama.
Kutarik napas tak panjang. Ini Aceh.
Meski nestapa dan sendiri aku harus tetap berdiri, sampai suatu masa cinta akan
menemukan dan menyapaku kembali.