Kamis, 29 Maret 2012

MASA DEPAN CERITA PENDEK KITA

Oleh: Nenden Lilis A.

Abstrak
Merebaknya cerita pendek di surat kabar (koran) pada dua dasawarsa terakhir ini
telah membuat beberapa pihak mensinyalir telah munculnya genre cerpen koran dalam
kesusastraan kita. Akan tetapi, muncul kontroversi seputar pensinyaliran tersebut, bahkan
tak jarang terjadi penyepelean terhadap kehadiran cerpen koran. Dibandingkan cerpen
majalah, cerpen koran dianggap cerpen-cerpen yang kurang bermutu secara estetika dan
temanya pun tidak beragam: lebih banyak mengangkat masalah sosial-politik yang tengah
aktual. Hal itu, seperti disinyalir oleh beberapa pihak, terjadi karena ada pembatasan dari
media yang mempublikasikannya, yakni koran, sebagai media informasi umum dan media
yang merupakan bagian dari industri yang cenderung komersial. Benarkah hal itu? Dan
benarkah cerpen yang dimuat koran tak mampu melakukan pencapaian estetika?
Tulisan ini berupaya menganalisisnya. Setelah dilakukan analisis, ternyata,
kecenderungan tema cerpen pada masalah tertentu tidak semata-mata diakibatkan oleh
koran yang memuatnya, tapi juga ada zaman, kebijakan pemerintah, dan faktor
pengarangnya itu sendiri yang turut mempengaruhi hal itu. Begitu pula dalam masalah
estetika. Cerpen-cerpen koran ternyata mampu melakukan pencapaian estetika. Bahkan,
pencapaian itu telah sampai pada tahap inovasi (pembaruan).
Dari hasil analisis di atas, tulisan ini menyimpulkan bahwa kualitas sebuah karya
tidak ditentukan oleh medianya. Sastra adalah sastra di mana pun ia berada. Analisis ini
pun menyimpulkan bahwa melihat kondisi zaman yang mulai terbuka sekarang ini, di
masa depan cerpen kita akan lebih beragam. Indikasi dari hal itu sudah terlihat sekarang.
Selain itu, pensinyaliran akan munculnya genre cerpen koran akan runtuh karena pada
masa ini para cerpenis tumbuh dalam keberagaman media sekaligus (majalah, koran,
buku, cyber,dll). Tak terlihat perbedaan ketika para cerpenis itu menulis di media-media
yang berbeda tsb. Dengan demikian, yang akan muncul di depan adalah cerpen, bukan
cerpen koran, cerpen majalah, cerpen buku, di manapun ia terdapat.
Kata Kunci: cerpen koran, cerpen majalah
Pendahuluan
DIBANDINGKAN dengan roman, novel, atau puisi, cerita pendek (cerpen)
merupakan genre sastra yang terbilang muda dalam kesusastraan Indonesia. Padahal
dalam kesusastraan Barat, cerpen telah berkembang sejak abad XVIII dan awal abad XIX.
Di Indonesia jenis fiksi ini sebenarnya telah dirintis oleh R. M. Tirto Adhi Soerjo (1880-
1980), dan pada zaman kolonial Belanda telah muncul dalam surat kabar – surat kabar dan
majalah yang dikembangkan oleh peranakan Cina. Namun, cerpen baru banyak
dibicarakan dan dimasukkan pada genre sastra kira-kira pada periode 1945-an. Periode-periode
sebelumnya, yaitu periode Balai Pustaka dan Pujangga Baru, novel dan romanlah
yang lebih mendominasi. (Danujaya, 1994).
Seperti halnya di Barat, perkembangan cerpen di Indonesia erat kaitannya dengan
perkembangan media masa, baik surat kabar, maupun majalah. Namun, dalam awal
perkembanganya, hingga periode 1970-an, majalahlah yang lebih dominan dalam memacu
perkembangan cerpen. Majalah-majalah yang pernah berperan tidak hanya majalah yang
mengkhususkan diri pada kebudayaan atau kesusastraan. Majalah mingguan umum pun
memberi ruang pada cerpen. Di antara majalah mingguan umum tersebut adalah Siasat
dan Mimbar Indonesia. Adapun majalah kebudayaan/kesusastraan yang banyak memuat
cerpen adalah Pantja Raya, Zenith, Indonesia, Kisah, Sastra, Zaman baru (Majalah
Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan lain-lain. Selain itu, ada majalah-majalah yang
berperan dalam perkembangan cerpen yang hingga sekarang masih hidup, antara lain
Horison.
Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada dua dasawasa terakhir, cerpen
berkembang secara pesat di koran-koran dan paling menikmati perkembangan media
massa. Hampir semua surat kabar, umumnya yang memiliki edisi minggu, menyediakan
rubik cerpen, dan tentunya telah beribu-ribu cerpen terpublikasikan melalui media
tersebut. Fenomema tersebut sempat membuat Seno Gumira Ajidarma berujar, “Di negeri
ini, hari Minggu barangkali bisa disebut sebagai hari cerpen. Semua koran memuat cerpen
pada edisi Minggu.”. Bahkan, dengan pesatnya perkembangan cerpen di koran ini,
Kuntowijoyo menyatakan bahwa kita merasa beruntung dan sepatutnya berterima kasih
kepada koran karena koran-koran kita sanggup menanggung resiko dengan menghadirkan
cerpen yang termasuk fiction, padahal seharusnya mereka hanya memuat fact. Korankoran
besar di luar negeri, seperti The New York Times, tidak pernah memuat cerpen.
Sehingga dia menduga bahwa kondisi tersebut khas Indonesia.
Keberanian koran-koran kita itu sungguh terpuji, kata Kuntowijoyo, dan memang
terpuji karena telah memberi andil besar dalam pertumbuhan sastra negeri ini. Namun,
mangapa di balik semua itu muncul kontroversi seputar cerpen Koran ?
Kontroversi dan Penyepelean terhadap Cerpen Koran
Cerpen-cerpen yang hadir lewat majalah pada awal pertumbuhan cerpen tak
sempat mengalami berbagai persoalan dan kontroversi seperti yang menimpa cerpen koran
saat ini. Cerpen koran, sejak awal perkembangannya hingga sekarang, tak henti didera
persoalan dan gugatan, baik dari pengarangnya, maupun dari para pengamat.
Kontroversi dan gugatan itu muncul di seputar penyepelean terhadap cerpen
koran, yakni anggapan terhadap cerpen koran sebagai karya yang kurang serius.
Pada perkembangan awal cerpen koran, anggapan-anggapan terhadap cerpen
koran sebagai karya yang kurang serius ini timbul dari dua sebab, yakni dari cara
memandang cerpen itu sendiri yang tercermin dalam batasan-batasan tentang cerpen, dan
dari sikap apriori terhadap karakteristik koran sebagai media yang mempublikasikan karya
fiksi.
Cerpen, sebagai bentuk sastra yang mengandung kata “pendek”, sering
didefinisikan sebagai karya yang dibuat dalam waktu singkat, dan dapat dibaca dalam
beberapa menit saja sebagai perintang-rintang waktu. Definisi tersebut, seperti pernah
diungkapkan Budi Darma (1983), memojokkan cerpen bukan sebagai bentuk sastra atau
genre, tapi sebagai bacaan atau hiburan .
Batasan seperti itu diperparah lagi oleh sikap negatif terhadap karakteristik koran
sebagai media publikasi karya sastra. Sifat massal dari koran, seperti dinyatakan Faruk,
cendrung dipandang negatif oleh para sastrawan.
Pandangan-pandangan negatif terhadap koran, seperti dijelaskan Faruk,
menyangkut aspek-aspek berikut. Pertama, sabagai media massa, koran dianggap sebagai
dunia yang “hiruk pikuk”, yang membuat tidak terbentuknya keheningan, iklim reflektf
dan kontemplatif yang dibutuhkan oleh sastra. Kedua, baik sebagai media politik-ideologi
maupun sebagai industri yang komersial, koran dianggap sebagai bersifat eksploitatif dan
manipulatif, kekuatan yang melumpuhkan daya pikir dan daya reflektif manusia, yang
justru menjadi motor utama sastra. Ketiga, sabagai industri, koran dianggap sangat terikat
oleh pasar sehingga menimbulkan hubungan sosial yang termediasi oleh uang.
Cara memandang cerpen yang tercermin dalam batasan-batasan seperti dijelaskan
di atas, dan cara memandang koran seperti itu tentu membuat lengkap penyepelean
terhadap cerpen koran. Ungkapan-ungkapan seperti cerpen sebagai dunia yang dibangun
dari TTS, kartun, konsultasi keluarga, resep masakan, ruang mode dan sejenisnya, yang
diistilahkan Afrizal Malna sebagai “interiorisasi dunia hari Minggu”, menunjukkan
anggapan bahwa cerpen tak lebih sebagai bagian dari kebudayaan massa. Adapum
kebudayaan massa, seperti pernah dikritik secara frontal oleh Theodor Adorno (1979),
merupakan produk dari kapitalisme. Dengan begitu, cerpen dianggap tak lebih dari
bayang-bayang komoditi dengan segala hukum-hukumnya.
Penyepelean terhadap cerpen koran sebagai karya yang kurang serius, yang
timbul dari cara mendefinisikan cerpen serta cara memandang koran di atas, berupaya
dibantah oleh beberapa pihak.
Mengenai batasan cerpen, Seno Gumira Ajidarma (1997) berpendapat bahwa jika
ada yang menganggap cerpen dibuat dan dibaca dalam waktu “pendek”, apa boleh buat,
kenyataannya memang begitu. “ Kata kuncinya adalah ‘pendek’ : dibuat dengen cepat dan
dibaca juga dengen cepat”, katanya sambil memperlihatkan proses kreatif beberapa
pengarang. Namun, Seno menyatakan bahwa dengen “pendek” nya ini, tidak berarti
cerpen kehilangan kualitas. Bahkan Putu Wijaya menyatakan bahwa cerpen yang dibuat
dalam 15 menit pun bisa menjadi masterpiece.
Kedua pendapat tersebut ingin menyatakan bahwa cerpen, dalam proses menulis
maupun membacanya bisa saja “pendek”, akan tetapi, kualitas dari kedua proses yang
“pendek” belum tentu “pendek” juga. Nirwan Dewanto (1992) menyatakan, “ Pendek
bukanlah berarti sederhana dalam wawasan dan penjelajahanya” .
Selanjutnya, mengenai anggapan-anggapan negatif terhadap karakteristik koran
sebagai media publikasi karya sastra, beberapa pihak berupaya menunjukkannya sebagai
anggapan yang keliru.
Terhadap pihak-pihak yang meragukan koran sebagai media publikasi karya
sastra karena sifatnya yang “hiruk-pikuk”, Faruk menyatakan bahwa pandangan terhadap
koran bersifat kontekstual karena karakteristik koran lambat laun mengalami pergeseran
atau perubahan sesuai dengan konteks atau situasi yang berlangsung. Pada saat ini
contohnya, perkembangan audio-visual telah menggeser posisi yang selama ini diduduki
media massa cetak. Media “hiruk pikuk” itu kini telah menjadi milik media elektronik.
Dengan demikian, terjadi pergeseran sifat media cetak dari “sensasional” menjadi
reflektif, dari media yang menyampaikan informasi sesaat menjadi media yang
menyampaikan informasi yang akumulatif. Untuk hal ini, Faruk mencontohkan Kompas
yang menurutnya semakin reflektif dengan menyajikan banyak feature dan informasi
ilmiah popular mengenai berbagai hal. Pergeseran sifat tersebut diyakini berpengaruh pada
seleksi pemutaran karya sastra.
Adapun terhadap pandangan yang meragukan koran karena sifatnya yang politisideologis
dan sebagai industri yang komersial sehingga cendrung eksploitatif dan
manipulatif, kekuatan yang melumpuhkan daya pikir dan reflektif manusia, banyak
kritikus menunjukkan bahwa hal tersebut tidak membuat karya sastra yang dimuat di
dalamnya berkarakeristik seperti itu juga. Justru sastra menjadi penyeimbang bagi sifat
yang demikian, memberi alternatif dan sudut pandang lain mengenai berbagai hal yang
muncul di media masa. Sifat manipulatif yang dibuat oleh kepentingan ideologi tertentu,
tak jarang “ditelanjangi” oleh pengarang. Hal seperti itu, misalnya ditunjukkan oleh
cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma yang kemudian terkumpul dalam kumpulan Saksi
Mata (sebelumnya cerpen-cerpen tersebut di muat di koran). Seperti dinyatakan Agus
Noor (1996), cerpen-cerpen tersebut memperlihatkan upaya “pembocoran fakta” terhadap
fakta yang telah dimanipulasi oleh kepentingan tertentu yang muncul dalam media massa .
Lalu, bagaimana pula dengan sikap apriori terhadap koran sebagai media
publikasi sastra karena sifatnya yang terikat oleh pasar? Apakah hal ini menyebabkan
prioritas pemuatan cerpen yang memenuhi selera pasar? Mengenai hal ini Budiarto
Danujaya (1994) menegaskan bahwa tidak selamanya cerpen-cerpen surat kabar terjebak
pada selera pop. Sebagai contoh, Budiarto menunjukkan bahwa tidak selamanya cerpencerpen
surat kabar memakai pola tutur realis dan pola penceritaan konvensional (yang
cenderung disukai pasar). Begitu pula dalam pemilihan tema, tidak sekedar
mengemukakan jenis-jenis cerita segi tiga naksir cinta-patah hati seperti banyak
digandrungi dalam majalah hiburan.
Pembuktian-pembuktian dan argumen-argumen untuk meluruskan sikap apriori
dan penyepelean terhadap cerpen koran seperti diuraikan di atas memang menampakkan
hasil. Hal itu terutama terasa pada periode sekitar tahun 1990-an ketika posisi cerpen
koran mulai terangkat. Para kritikus mulai melihat cerpen koran bukan sebagai karya
sembarangan yang bisa dipandang sebelah mata. Cerpen koran pun diakui sebagai karya
sastra yang tidak bisa dinomorduakan bobotnya. Nirwan Dewanto pada saat itu misalnya,
berani menyatakan bahwa cerpen-cerpen di Indonesia pada kurun waktu tersebut muncul
di koran, bukan di majalah sastra. Sikap penyepelean terhadap cerpen koran juga, seperti
pernah saya tunjukkan dalam makalah yang disajikan dalam workshop cerpen Majelis
Sastra Asia Tenggara (1998), mengendur tatkala banyak pengarang ternama Indonesia
yang tadinya menulis untuk majalah, beralih menulis cerpen koran .
Akan tetapi, keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Berbagai keluhan terhadap
cerpen koran bermunculan lagi ketika banyak pengarang merasakan berbagai keterbatasan
dari koran untuk ruang publikasi sastra. Keterbatasan tersebut terutama menyangkut
jumlah halaman. Keluhan akan pembatasan jumlah halaman ini terutama datang dari para
cerpenis yang sudah terbiasa dengan sastra majalah pada awal-awal perkembangan cerpen.
Budi Darma misalnya menyatakan bahwa keterbatasan tersebut memungkinkan
pengarang pada kecendrungan bertutur secara lugas, dan isi yang bersifat permukaan.
Kecendrungan gaya bertutur lugas dan kurangnya pendalaman pada eksplorasi
bahasa dalam cerpen-cerpen koran memang terasa, dan hal ini telah menimbulkan banyak
kritik pula terhadap cerpen koran. Nirwan Dewanto (2000) misalnya dengan tajam
menyatakan bahwa penulis cerpen kita sekarang ini sekedar memperalat bahasa dan
menggunakan bentuk sebagai kendaraan bagi pesan, filsafat atau “keterlibatan sosial”.
Begitu pula dalam pandangan Goenawan Mohamad (2000) yang menyebut cerpen-cerpen
koran hanya menjadikan bahasa sebagai komunikator yang siap pakai, bukan sebuah
wilayah penjelajahan tersendiri .
Keterbatasan ruang itu ternyata tidak hanya berakibat pada masalah gaya bertutur
dan penggunaan bahasa. Kuntowijoyo (1999) pernah mengeluhkan bahwa keterbatasan
yang tadinya bersifat eksternal mempengaruhi proses kreatif sehingga bersifat internal
juga. Salah satu hal yang dirasakan Kuntowijoyo dari keterbatasan tersebut adalah
hilangnya karakterisasi, plot, dan suspense . Pada cerpen-cerpen surat kabar yang memang
pendek, penggarisbawahan pada karakterisasi sulit dilakukan. Budi Darma (1983)
menyatakan salah satu cerpen menjadi sangat panjang adalah kebebasan pengarang untuk
menggarisbawahi karakterisasi, dan hal itu telah hilang dari cerpen koran. Goenawan
Mohammad (2000) menyebut cerpen koran bersifat tipis-tokoh.
Pendeknya, dari keterbatasan koran tersebut, para pengarang merasakan berbagai
“kehilangan”. Adapun para pengamat merasakan berbagai penurunan kualitas. Mengenai
penurunan kualitas ini sering ditunjukkan dengan cara membandingkan karya-karya
pengarang pada tahun-tahun ketika masih menulis cerpen majalah/buku dengan cerpencerpennya
yang ditulis dalam koran. Ahmad sahal (1999) misalnya membandingkan
cerpen-cerpen Umar Kayam yang ditulis tahun 1970-an dengen cerpen-cerpennya yang
sekarang dimuat koran yang kemudian terkumpul dalam Parta krama. Menurut Sahal,
cerpen cerpen Umar Kayam dalam Parta krama kalah mutu dengan cerpen-cerpennya di
tahun 1970-an semacam “ Seribu kunang-kunang di Manhattan”. Berbeda dengan cerpencerpennya
yang dulu, cerpen-cerpen Kayam yang sekarang (semacam yang banyak dimuat
Kompas) kehilangan ambiguitas dan kompleksitas yang merupakan kekayaan sastra, dan
juga terasa merosot dan konvensional.
Selain masalah di atas, keluhan terhadap cerpen koran juga menyangkut
kecendrungan cerpen koran pada tema dan latar permasalahan tertentu. Tema dan latar
permasalahan yang dimaksud adalah masalah-masalah seputar peristiwa yang sedang
terjadi (hangat, aktual), terutama yang menyangkut masalah-masalah politik.
Keluhan tersebut memang bukan sekedar keluhan yang mengada-ada. Salah
seorang redaktur cerpen H. U. pikiran rakyat, Aam Amilia, dalam wawancara dengan saya
untuk keperluan penelitian “Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru” (LIPI, 2000),
mengakui bahwa sebanyak 80 % cerpen-cerpen yang termasuk pada rubik yang
dipegangnya adalah seputar masalah dan kritik terhadap kondisi sosial-politik yang tengah
berlangsung. Begitu pula dalam pemuatannya. Hal itu pun terbukti dari hasil penelitian
saya bersama Beni R. Budiman terhadap cerpen-cerpen yang dimuat tahun 1980-1995
pada H. U. Pikiran Rakyat, 80 % cerpen yang dimuat pada media tersebut bercerita
tentang soal-soal sosial-politik.
Begitu pula apabila kita menengok cerpen-cerpen yang terkumpul dalam cerpen
pilihan Kompas sejak 1992. Perbandingannya tak beda jauh, yaitu 80 % berfokus pada
masalah-masalah sosial-politik (terutama yang tengah aktual dalam arti peristiwa yang
tengah berlangsung). Untuk ini, Goenawan Mohamad (2000) menjulukinya sebagai cerpen
topikal, cerita yang ditulis dengan niat untuk ikut bicara dalam soal-soal sosial yang
sedang hangat . Fokus yang menjadi objek yang digunakan pengarang untuk menyuarakan
masalah-masalah dan kritik terhadap kondisi sosial-politik ini rata-rata adalah kaum
tertindas, wong cilik. Tak mengherankan apabila Fuad Hasan mengeluhkan kecenderungan
pada yang serba mineur ini. Padahal pengalaman kemanusiaan lebih dari itu, katanya.
Analisis mengenai Ketidakberagaman Cerpen Koran dan Kecenderungannya pada
Tema seputar Sosial Politik
Dari uraian di atas tampak bahwa sekalipun telah berkembang hampir 50 tahun,
cerpen koran belum “diterima” sepenuhnya oleh para sastrawan. Penyepelean akan mutu
cerpen koran terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan Nirwan Dewanto yang dulu
pernah “membanggakan” cerpen koran, dalam esainya “Masih Perlukah Sejarah Sastra?”
(2000), cenderung melecehkan cerpen koran. Ungkapan kalimat “… penulis yang ada
sekarang hanya mampu menghasilkan cerpen koran” (hurup miring dari saya),
menunjukkan pelecehan tersebut.
Jika begitu, di manakah sebenarnya letak kesalahan cerpen koran? Mengapa mutu
estetika cerpen koran lebih rendah dibanding cerpen majalah? Benarkah hal itu ?
Cerpen koran sering dipertentangkan dengan cerpen majalah. Dengan begitu,
apakah kesalahan terletak pada medianya? Marilah kita telaah permasalahan yang melanda
cerpen koran satu per satu.
Pertama mengenai kecenderungan cerpen koran pada tema tertentu yang
membuatnya seragam dan tidak bervariasi. Sebelum menjatuhkan tuduhan pada koran
sebagai biang keladi tersebut, saya ingin menengok kembali tema karya-karya sastra yang
muncul sejak awal perkembangan sastra Indonesia.
Jika kita menengok perkembangnan tersebut, akan nampak pada kita bahwa
karya-karya sastra yang muncul di setiap zaman (periode) memiliki tema-temanya yang
dominan. Karya sastra periode tahun 1970-an seperti terlihat pada roman-roman yang
terbit pada periode ini, didominasi oleh tema-tema mengenai kawin adat dan
pemberontakan terhadapnya. Tema-tema karya sastra tahun1930-an, seperti nampak pada
karya-karya yang ditulis angkatan Pujangga Baru, didominasi oleh perjuangan munuju
nasionalisme. Periode 1942 (1945-an), tema-tema karya sastra banyak berbicara seputar
masalah revolusi di zaman Jepang dan cita-cita kemerdekaan. Pada periode Orde Lama,
karya-karya sastra didominasi oleh kritik terhadap kebejadan moral para penguasa. Dan
pada masa orde baru yang ditandai dengan menjamurnya cerpen koran, karya-karya sastra
didominasi oleh masalah-masalah sosial politik yang berlangsung.
Melihat perkembangan di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan tema
karya sastra pada masalah tertentu bukan hanya milik periode sekarang yang indikasinya
nampak pada cerpen koran, tetapi juga menjadi milik zaman-zaman sebelumnya.
Apa yang menyebabkan hal itu? Pertama, tentulah zaman itu sendiri. Setiap
zaman selalu ditandai oleh keadaan dan peristiwa–peristiwanya sendiri. Keadaan dan
peristiwa-peristiwa inilah yang sering direkam dan direspon oleh pengarang. Ungkapan
bahwa karya sastra adalah cerminan atau potret zamannya berlaku untuk hal ini. Dengan
demikian, kecenderungan cerpen koran pada tema-tema tertentu ini dipengaruhi oleh –
meminjam istilah Hegel- semangat zaman atau zeitgeist. Para pengarang periode sekarang
pun berupaya merekam semangat zaman kini. Tak mengherankan apabila banyak kejadian
dan “perasaan” yang tumbuh pada zaman kini dan terjadi di sekeliling kita lalu muncul
dalam cerpen. Masalah-masalah sosial seperti penggusuran, ketertindasan rakyat oleh
penguasa, sisi-sisi lain dari pembangunan, masalah-masalah ketidakadilan hukum,
masalah-masalah politik, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang mewarnai cerpen
koran pada dua dasawarsa terakhir ini.
Mengapa masalah sosial-politik ini yang dominan? Di sini masalah kebijakan
pemerintah mempengaruhi. Seperti kita tahu dan kita saksikan, di masa sebelum
reformasi, represivitas penguasa (pemerintah) terhadap masyarakat sangat keras, keadilan
dan demokrasi tersumbat, hak azasi ditekan. Orang tak bisa bersuara dan melakukan kritik
secara bebas. Sedangkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masalah sosial-politik
membuat penderitaan-penderitaan bagi rakyat. Pers pun tak mampu melaksanakan fungsi
kritik. Pendeknya, ada rasa tidak aman untuk menggugat masalah-masalah yang
berhubungan dengan kebijakan pemerintah.
Pengarang, sebagai ujung tombak perkembangan manusia, sosial, dan individual
(meminjam ungkapan Sussane K. Langer), tentulah tak bisa diam menyaksikan hal itu.
Mereka melakukan responnya melalui karya sastra. Karya sastra, karena berjenis fiksi,
dinilai aman untuk menyuarakan gugatan. Dengan demikian, karya sastra pun telah
dijadikan semacam siasat oleh pengarang atau semacam pemberontakan dalam istilah
Albert Camus. Hal ini misalnya nampak pada pernyataan Seno, “ Ketika jurnalisme
dibungkam, sastra harus bicara”, dan sejumlah karyanya yang berupaya melakukan
pembocoran fakta lewat fiksi.
Lalu, apakah koran sama sekali tak berperan dalam “membatasi” tema cerpen
sehingga menjadi suatu kecenderungan tertentu?
Harus diakui bahwa surat kabar sebagai media informasi dan komunikasi massal
memiliki hukum-hukumnya sendiri. Karakteristik surat kabar dengan sejumlah
kepentingannya, tak bisa dipungkiri, telah menggariskan sejumlah pembatasan tertentu.
Sebagai pemberita informasi umum, pemenuhan rasa ingin tahu pembaca mengenai
seagala sesuatu yang berlangsung di sekitarnya sangat ditekankan koran. Oleh karena itu,
aktualitas menjadi sangat dipentingkan. Hal ini berpengaruh pada seleksi pemuatan
cerpen.
Seperti diakui Budiarto Danujaya, salah seorang redaktur Kompas, pembatasan
tema-tema cerpen pada masalah aktual adalah salah satu hal yang mempengaruhi redaktur
cerpen. Dalam penutup untuk kumpulan cerpen Lampor, Cerpen Pilihan Kompas 1994,
Danujaya menulis “ … tampaknya masalah aktualitas tema ini mamang terbukti
merupakan salah satu “pembatasan” yang paling mempengaruhi redaktur cerpen”.
Masalah-masalah aktual yang mendominasi surat kabar pada masa ini sangat erat
berhubungan dengan masalah sosial-politik. Tak mengherankan apabila kemudian para
redaktur cerpen di koran memfokuskan perhatian pada masalah-masalah itu.
Dengan begitu kita bisa melihat bahwa memang terjadi semacam tema yang
seragam pada cerpen koran , dan itu salah satunya terjadi karena ada pembatasan akibat
karakteristik koran. Akan tetapi, masalah tersebut tidak semata-mata merupakan
“kesalahan” koran. Ada faktor lain juga yang mempengaruhinya, yakni zaman, kebijakan
pemerintah, dan faktor pengarang itu sendiri.
Hal seperti itu sebetulnya terjadi juga pada cerpen-cerpen majalah periode 1945
hingga 1970-an. Majalah juga adalah media massa, pasti punya karakteristik tertentu dan
tentu menggariskan pembatasan. Cerpen majalah juga sebetulnya tak lepas dari
kecenderungan pada tema tertentu. Contohnya cerpen-cerpen yang muncul pada periode
1945-an yang menampakkan kecenderungan pada tema tertentu, yakni masalah-masalah
seputar revolusi di zaman Jepang dan cita-cita kemerdekaan, adalah cerpen-cerpen yang
dimuat majalah. Kecenderungan itu tentunya tidak semata-mata disebabkan oleh majalah
itu sendiri. Tapi ada zaman, kebijakan pemerintah pada waktu itu, dan obsesi pengarang.
Akan tetapi, mengapa terhadap cerpen-cerpen majalah tak terdengar semacam
penyepelean seperti yang menimpa cerpen koran? Apakah karena cerpen majalah
dianggap berhasil melakukan pencapaian estetik seperti disebut-sebut di atas sedangkan
koran tidak?
Hal yang kerap dianggap sebagai faktor yang menyebabkan cerpen dapat
melakukan eksplorasi dalam bidang estetika adalah longgarnya ruang yang diberikan.
Kebebasan ruang tersebut, seperti dinyatakan para penulis cerpen majalah tahun 1945
hingga 1970-an, didapat dari majalah.
Akan tetapi, apakah terbatasnya ruang di koran tak menghasilkan cerpen-cerpen
yang berhasil melakukan pencapaian estetika? Dan apakah betul bahwa panjangnya
halaman atau besarnya ruang menjamin pencapaian tersebut ? Tentunya tidak. Untuk itu
kita bisa mencontohkan cerpen-cerpen O Henry atau Anton Chekov yang rata-rata
merupakan cerpen-cerpen yang pendek, tetapi estetika cerpen-cerpen tersebut tak
diragukan.
Memang, tak semua cerpen koran berhasil melakukan pencapaian estetik seperti
tak semua cerpen majalah berhasil melakukannya. Karya-karya dari cerpen majalah yang
sering disebut berhasil melakukan pencapaian estetik tentunya hanya sebagian atau bahkan
beberapa saja yang memang merupakan masterpiece. Begitu pula dengan cerpen koran.
Tak semua cerpen koran bersifat lugas, topikal, dan permukaan. Banyak pula yang
berhasil melakukan pencapaian estetik sekalipun ruangnya terbatas. Bahkan, pencapaian
estetik dari cerpen koran, dapat dikatakan telah sampai pada tahap inovasi, seperti yang
dilakukan oleh Joni Ariadinata.
Inovasi dalam karya sastra sudah terjadi sejak tahun 1942-an tatkala konsep
estetika angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru dirombak oleh angkatan 1945-an.
Inovasi ini terjadi lagi pada tahun 1970-an, dan kemudian terjadi juga sekarang, terutama
dalam bidang cerpen.
Idrus adalah salah seorang pengarang yang sering dinyatakan sebagai pembaharu
dalam bidang prosa. Ia adalah pemisah antara prosa zaman revolusi dengan angkatan
Pujangga Baru. Inovasinya dalam hal isi, gaya dan penggunaan bahasa dianggap
revolusioner. Berbeda dengan angkatan Pujangga Baru yang mementingkan keindahan
dan kehalusan, Idrus, seperti dinyatakan Teeuw (1980), justru memilih kenyataan yang
kejam, kasar, hal-hal yang menyinggung dan kata-kata yang dikemukakan kepada para
pembaca dengan cara yang agak menantang. Keterusterangan dan kesederhanaan menjadi
norma karya prosanya. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam karyanya pendek-pendek
dan bersahaja dengan kecenderungan terhadap pembentukan kalimat nominal. Kata dasar
banyak menggantikan kata berimbuhan. Ia pun tak segan-segan memasukkan bahasa
Jakarta-Jawa sehari-hari, dan bahasa-bahasa asing menggantikan bahasa Melayu yang
resmi.
Pada tahun 1970-an, inovasi terjadi dalam cara melihat kenyataan. Sastra realis –
meminjam istilah Th. Sri Rahayu Prihatimi-- “dirongrong” oleh para inovator seperti Putu
Wijaya dan Danarto. Begitu pula segi estetika. Alur tidak harus terikat hukum kausalitas,
peristiwa bukan hanya yang masuk akal, latar waktu tidak hanya terikat lampau dan kini,
pencerita pun kadang-kadang tidak pasti kedudukannya .
Pada Joni Ariadinata (salah satu cerpenis yang tumbuh lewat koran), cerpencerpennya
masih bersifat realis. Inovasinya ini nampak pada bidang bahasa. Dalam
menulis cerpen, Joni sangat mempertimbangkan kepekatan, efektivitas dan estetika
bahasa. Dalam menulis cerpen, ia seperti penyair mengeksplorasi kata untuk puisi. Bunyi,
irama, sangat dipentingkan. Penamaan tokoh pun sering menyatu dengan bunyi dan irama
bahasa.
Selain itu, untuk mencapai tujuan estetika ini Joni tak segan-segan melakukan
penyimpangan kalimat. Pada umumnya berupa pemendekan kalimat, yakni pemenggalan
kata-kata yang seharusnya merupakan satu kalimat menjadi beberapa kalimat sehingga
terjadilah penghilangan (baca : pelepasan) unsur subjek, predikat, atau objek.
Pemendekkan kalimat yang dilakukan Joni menjadikan bahasa dan informasi yang
disampaikannya lebih efektif. Kalimat-kalimat pendek (banyak yang hanya terdiri atas
satu kata atau frasa) ternyata mencapai efek estetis tertentu, yakni sekalipun hanya satu
kata/frasa, tapi berbicara banyak. Lihatlah petikan berikut :

Ini rumah. Cuma satu. Atap seng bekas, berkarat, triplek templek-templek,
ditambal plastik, ada tikar: tentu, ember buat cebok. Dua ruang : satu untuk Siti, tak
boleh diganggu-gugat. Yang lain, tempat Mak Nil biasa kerja … Tak butuh jendela. Kalau
masuk membungkuk. Sumpek (Cerpen Rumah Bidadari).
Dalam dialog, Joni pun tak mau berpanjang-panjang dengan kalimat penjelasan.
Contohnya seperti ini :
“ Siti ini anakmu … Kuwalat!! Dasar bajingan. Kalian meniduri anakmu sendiri,
heh?! Ya Gustiii …” beledek.
Atau
“Aku tak ingin Mak diam di sini! “gelisah. “aku ingin kau segera enyah dari sini,
“diam.
Satu kata, seperti bledek, gelisah, diam, bagi Joni cukup menjelaskan
situasi/suasana, gerak-gerik tokoh, atau siapa yang bicara.
Selain pada Joni, inovasi pun muncul pada beberapa cerpen Seno yang mencoba
membaurkan antara fakta dan fiksi.
Jika cerpen koran telah sampai pada taraf inovasi itu, apakah masalah ruangan
masih tetap merupakan hambatan?
Keluhan-keluhan dan gugatan-gugatan terhadap pembatasan ruang publikasi
cerpen oleh surat kabar lebih banyak muncul dari para sastrawan yang mula-mula tumbuh
dalam sastra majalah. Namun, bagi cerpenis yang tumbuh dalam generasi cerpen koran hal
itu tampaknya bukan hambatan sebab jenis cerpen dengan jumlah ruangan yang
disediakan koran itulah yang dikenalnya. Ketika mereka menulis untuk majalah, tampak
bahwa mereka tidak merasakan suatu perbedaan yang menghambat. Apalagi kini terlihat
tak ada perbedaan mencolok antara cerpen majalah dan cerpen koran, baik dari jumlah
halaman, maupun dari kriteria estetikanya. Untuk hal ini kita bisa melihat berbagai
antologi cerpen (yang terbit pada masa kini) yang memuat cerpen dari dua sumber
tersebut, yaitu majalah dan koran. Dalam antologi Saksi Mata (Seno Gumira Ajidarma)
Nyanyian Malam (Ahmad tohari), Hampir Sebuah Subversi (Kuntowijoyo), misalnya,
yang memuat cerpen dari koran (Kompas,MediaIindonesia ,Republika,Suara Pembaruan,
dll) dan majalah/Jurnal (seperti Ulumul Qur’an, Horison, Panji Pustaka, Matra, dll), tidak
ditemukan perbedaan yang mencolok, baik menyangkut perbedaan jumlah halaman, tema
yang diusung, maupun estetikanya. Sebagai contoh, cerpen “Listrik” (Seno Gumira
Ajidarma), yang terdapat dalam antologi Saksi Mata, yang sebelumnya dimuat majalah
Matra, secara estetik maupun tematik tak berbeda dengan cerpen-cerpen lainnya yang
bersumber dari koran yang terdapat dalam antologi tersebut. Bahkan, cerpen tersebut
selain dimuat di Matra dimuat pula di koran Suara Pembaruan.
Dengan begitu, untuk waktu-waktu ke depan, saya melihat bahwa persoalan
cerpen ini tak akan terbatasi lagi oleh permasalahan jenis media yang
mempublikasikannya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kualitas sebuah karya tidak ditentukan oleh medianya. Sastra adalah sastra di
manapun ia berada. Belum lagi apabila kita melihat kondisi media massa di masa
reformasi ini yang telah menunjukkan keterbukaan dan keberanian. Suara tak lagi
tersumbat. Saluran untuk menyuarakan protes dan kritik terhadap berbagai kondisi (sosial,
politik, budaya, dan lain-lain) pun banyak. Sastra atau karya fiksi tak lagi dijadikan alat
satu-satunya untuk menyuarakan pemberontakan. Pengarang punya keleluasaan
menyuarakan berbagai hal. Fokus mereka pun tak lagi terbatas.
Indikasi ini sudah mulai terlihat sekarang ini. Koran-koran tak lagi memfokuskan
pemuatan cerpen pada yang melulu berbau masalah sosial-politik karena masalah tersebut
telah bebas dan leluasa mereka ungkapkan dalam pemberitaan. Dengan demikian, apabila
kondisi ini terus berjalan, cerpen kita akan lebih beragam lagi, dan terbuka dalam berbagai
eksplorasi estetika, apa pun media yang dipergunakannya.
Dengan demikian pula, persoalan akan muncul genre cerpen koran di samping
cerpen majalah yang disinyalir oleh beberapa pihak, akan runtuh. Hal itu karena, pertama,
generasi cerpenis yang muncul sekarang dan juga yang akan datang hidup dalam
keragaman media secara sekaligus (koran, majalah, cyber, buku dan lain-lain). Jika kita
mengacu pada indikasi para cerpenis kini yang tak berbeda ketika menulis cerpen untuk
majalah maupun koran, maka dapat diduga bahwa cerpen-cerpen yang akan muncul ke
depan di berbagai media tersebut tak akan menunjukkan perbedaan, sehingga tak bisa
diidentifikasi sebagai genre tertentu (selama ini pensinyaliran muncul genre tertentu
diidentifikasi lewat karakter dan kecendrungan yang berbeda dari tiap media).
Kedua, zaman dan kebijakan yang lebih terbuka akan membuat media maupun
pengarang lebih terbuka pula dalam menelusuri berbagai hal. Dengan begitu, karya yang
dimuat dan dihasilkan akan lebih beragam dan tidak menuju pada kecendrungan dan
keterbatasan pola tertentu.
Dengan begitu, yang ada nantinya adalah cerpen, bukan cerpen koran, cerpen
majalah, atau cerpen buku, di manapun ia terdapat. Dan inilah prediksi sekaligus harapan
saya.***

Pustaka Acuan
Adorno, Theodor.1979. Dialectic of Enlightment. London: Verso
Aisyah, Nenden Lilis. 1998. “Studi terhadap Cerpen Koran: Kita Perlu Cerpen yang
Beragam” . Makalah Workshop Cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara
Aisyah, Nenden Lilis. 2000. “Transkrip Wawancara dengan Aam Amilia (Redaktur
Cerpen H.U. Pikiran Rakyat)”. Dokumen Penelitian Kebijakan Kebudayaan di Masa
Orde Baru. Jakarta: LIPI
Aisyah, Nenden Lilis dan Beni R. Budiman.2000. “Pengarang dan Teks Sastra di Tengah
Kebijakan Sastra” , dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru. Jakarta: LIPI
Ajidarma, Seno Gumira. 1997. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.
Yogyakarta: Bentang Budaya
Danujaya, Budiarto. 1994. “Tentang Sastra Koran Itu”, dalam Lampor, Cerpen Pilihan
Kompas 1994. Jakarta: Kompas
Darma, Budi. 1980. Orang-Orang Bloomington. Jakarta: Sinar harapan
Darma, Budi. 1983. Solilokui. Jakarta: Gramedia
Darma, Budi. 1995. “Sastra Kita: Estetika dan Teori”. Makalah Kongres Kesenian
Indonesia I
Dewanto, Nirwan. 1992. “Penutup”, dalam Kado istimewa, Cerpen Pilihan Kompas 1992.
Jakarta: Gramedia
Dewanto, Nirwan. 1993. “Cerpen-Cerpen Terbaik Kompas 1992”, dalam Pelajaran
Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993. Jakarta: Gramedia
Dewanto, Nirwan. “Masih perlukah Sejarah Sastra?”, Kompas, 4 Maret 2000
Faruk. “ Perkembangan Persepsi tentang Sastra Populer dan Fenomena Cerpen Kompas”.
Makalah
Kuntowijoyo. 1999. Hampir Sebuah Subversi. Jakarta: Grasindo
Kuntowijoyo. “Bisnis dan Seni, Sastra dan realitas, dan Sastra Majalah dan Sastra Koran”.
Makalah
Mohammad, Goenawan. “Kenapa Menulis Cerita pendek?”, dalam Dua Tengkorak
Kepala, Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: Kompas
Noor, Agus. “Fakta Sastra di Tengah Eufeumisme Budaya”, Kompas, 28 Januari 1996
Prihatimi, Th. Sri Rahayu. “Reformasi sastra Indonesia”, Kompas, 14 Juni 1998
Sahal, Ahmad. 1999. “Sastra, Ambiguitas, dan Tawa Tuhan”, dalam Derabat, Cerpen
Pilihan Kompas 1999. Jakarta: LIPI
Teeuw, A. 1980.Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah
Biodata:
Nenden Lilis A., mengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI
Bandung. Menulis cerpen, puisi, dan artikel di berbagai media massa lokal dan nasional.
Mengikuti berbagai festival sastra di dalam dan luar negeri. Karya-karyanya berupa puisi
dan cerpen dipublikasikan dalam berbagai antologi, baik tunggal, maupun bersama.
Kumpulan puisi tunggalnya, Negeri sihir (Diwan pustaka, 1999), dan kumpulan cerpen
tunggalnya, Ruang belakang (Penerbit Buku Kompas, 2003).

Sitti Nurbaya Bag I

I. PULANG DARI SEKOLAH

Kira-kira pukul satu siang, kelihatan dua orang anak muda,
bernaung di bawah pohon ketapang yang rindang, di muka
sekolah Belanda Pasar Ambacang di Padang, seolah-olah mereka
hendak memperlindungkan dirinya dari panas yang memancar
dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang mendidih.
Seorang dari anak muda ini, ialah anak laki-laki, yang umurnya
kira-kira 18 tahun. Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana
pendek hitam, yang berkancing di ujungnya. Sepatunya sepatu
hitam tinggi, yang disambung ke atas dengan kaus sutera hitam
pula dan diikatkan dengan ikatan kaus getah pada betisnya.
Topinya topi rumput putih, yang biasa dipakai bangsa Belanda.
Di tangan kirinya ada beberapa kitab dengan sebuah peta bumi
dan dengan tangan kanannya dipegangnya sebuah belebas, yang
dipukul-pukulkannya ke betisnya.
Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka, anak muda
ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah.
Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa;
karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan
matanya hitam sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan
tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula.
Hidungnya mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak
gemuk dan tak kurus, tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang
jernih dan tenang, berbayang, bahwa ia seorang yang lurus,
tetapi keras hati; tak mudah dibantah, barang sesuatu maksudnya.
Menilik pakaian dan rumah sekolahnya, nyata ia anak
seorang yang mampu dan tertib sopannya menyatakan ia anak
seorang yang berbangsa tinggi.
Teman anak muda ini, ialah seorang anak perempuan yang
umurnya kira-kira 15 tahun. Pakaian gadis ini pun sebagai
pakaian anak Belanda juga. Rambutnya yang hitam dan tebal itu,
dijalinnya dan diikatnya dengan benang sutera, dan diberinya
pula berpita hitam di ujungnya. Gaunnya (baju nona-nona)
terbuat dari kain batis, yang berkembang merah jambu. Sepatu
dan kausnya, coklat wamanya. Dengan tangan kirinya dipegangnya
sebuah batu tulis dan sebuah kotak yang berisi anak batu,
pensil, pena, dan lain-lain sebagainya; dan di tangan kanannya
adalah sebuah payung sutera kuning muda, yang berbunga dan
berpinggir hijau.
Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri
sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan
sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipinya sebagai pauh
dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju
dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari.
Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambahkan
manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi
lalat yang hitam. Pandangan matanya tenang dan lembut, sebagai
janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga
melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara
kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua
baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung, dan
pada kedua belah cuping telinganya kelihatan subang perak,
yang bermatakan berlian besar, yang memancarkan cahaya air
embun. Di lehernya yang jenjang, tergantung pada ranjai emas
yang halus, sebuah dokoh hati-hati, yang bermatakan permata
delima. Jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang
diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemahlembut,
bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya.
Dadanya bidang, pinggangnya ramping. Lengannya dilingkari
gelang ular-ular, yang bermatakan beberapa butir berlian yang
bemyala-nyala sinarnya. Pada jari manis tangan kirinya yang
halus itu, kelihatan sebentuk cincin mutiara, yang besar matanya.
Kakinya baik tokohnya dan jalannya lemah gemulai.
Menurut bangun tubuh, warna kulit dan perhiasan gadis ini,
nyatalah ia bangsa anak negeri di sana; anak orang kaya atau
orang yang berpangkat tinggi. Barangsiapa memandangnya, tak
dapat tiada akan merasa tertarik oleh sesuatu tali rahasia, yang
mengikat hati, dan jika mendengar suaranya, terlalailah daripada
sesuatu pekerjaan. Sekalian orang bersangka, anak ini kelak, jika
telah sampai umurnya, niscaya akan menjadi sekuntum bunga,
kembang kota Padang, yang semerbak baunya sampai ke manamana,
menjadikan asyik berahi segala kumbang dan rama-rama
yang ada di sana.
"Apakah sebabnya Pak Ali hari ini terlambat datang?
Lupakah ia menjemput kita?" demikianlah tanya anak laki-laki
tadi kepada temannya yang perempuan, sambil menoleh ke jalan
yang menuju ke pasar Kampung Jawa.
"Ya, biasanya sebelum pukul satu ia telah ada di sini.
Sekarang, cobalah lihat! Jam di kantor telepon itu sudah hampir
setengah dua," jawab anak perempuan yang di sisinya.
"Jangan-jangan ia tertidur, karena mengantuk; sebab tadi
malam ia minta izin kepada ayahku, pergi menonton komidi
kuda. Kalau benar demikian, tentulah kesalahannya ini akan
kuadukan kepada ayahku," kata anak laki-laki itu pula, sebagai
marah rupanya.
"Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan
baru sehari dua bekerja pada ayahmu, melainkan telah bertahuntahun.
Dan di dalam waktu yang sekian lamanya itu, belum ada
ia berbuat kesalahan apa-apa. Bagaimanakah rasanya, kalau kita
sendiri sudah setua itu, masih dimarahi juga? ......
bersambung...

Selasa, 27 Maret 2012

BBM Naik, Tukang Pagar

Bismillahirrahmanirrahim
Agaknya sekarang ini persoalan mengenai kenaikan BBM sedang populer. Di setiap channel yang menayangkan acara berita selalu saja ada yang terkait dengan persoalan ini. Mulai dari debat para anggota DPR, mahasiswa yang anarkis, polisi yang seenaknya saja memukuli mahasiswa yang berdemo, hingga didobraknya pagar gedung DPR RI. Yang terakhir itu membuat saya tersenyum.
Barangkali para tukang pagar harusnya bersyukur. Berkesempatan mendapat rezeki lebih banyak dari biasanya, karena para pendemo selalu saja mendobrak pagar gedung DPR itu. Setidaknya masih ada satu manfaat dibalik banyaknya penolakan. Setidaknya rumah bisa beraroma enak karena makanan, dapur? tentu saja tak punya, bersatu dengan berbagai kegiatan lainnya.
Allah selalu memberi hikmah dibalik ujiannya, atau mungkinkah ini azab?. Sudahlah, setidaknya ada sekelompok orang yang bahagia karena rencana kenaikan BBM ini. Namun, bukan berarti ku tak peduli pada permasalahan ini. Tentu saja sangat peduli bahkan. Bensin itu bahan bakarku untuk bepergian setiap hari, lantas bagaimana ceritanya jika harganya naik?..
Para pengusaha asing akan dengan mudahnya menguasai pasar minyak dan gas, yang kini hanya 80% sangat mungkin nanti akan menjadi 100%. Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam, mereka akan mengambil kesempatan ini, hingga pemerintah tak punya kekuasaan apapun mengenai migas. Aah malangnya negeriku