Sabtu, 14 April 2012

Lelaki Kabut dan Boneka

Lelaki itu tiada mempunyai wajah yang tetap, tetapi sebenarnya ia
ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yang
dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit, bumi, matahari,
rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan kabut yang
diciptanya sendiri….
"Siapakah… lelaki… itu? Di…di… mana… dia?"
Orang-orang bertanya-tanya. Mengeluarkan suara gagap dengan tubuh
meremang gemetar. Wajah mereka pasi, serupa lilin-lilin di keheningan
musim dingin. Ya, mereka merasakan keberadaannya, tetapi mereka tak
yakin ia benar-benar ada. O, adakah lelaki yang bertahan hidup di balik
kabut selama itu? Dan sang lelaki, hanya ia sendiri yang mengetahui
bahwa ia sungguh ada.
Kelam merangkaki belukar malam. Kini lelaki itu kembali untuk
menebarkan nyeri dalam pekat. Di bawah sebuah pohon yang telah
meranggas, tangannya mengacung-acung ke udara, "Akulah semesta!"
Langit merah. Tanah pecah dan angin rebah. Kengerian berhembus
menerjang kabut, melewati lorong-lorong peradaban yang tergali oleh
waktu, membongkar kebiadaban diri di dasar yang paling sunyi. Ah, walau
Socrates hidup lagi, tak akan mampu untuk membawanya kembali ke
jalan perundingan.
***
"Aku akan menyiapkan semua," kata lelaki itu pelan sambil menyepaknyepak
kepala manusia yang berserakan di mana-mana. Diambilnya
sebuah tengkorak kepala kecil. Diamatinya beberapa saat. Pasti bayi yang
sangat mungil, pikirnya. Lalu dilemparnya tengkorak itu, seperti seorang
pelajar tanggung melempar batu pada pelajar lain di tengah kota. Angin
meniup benda itu, menerbangkannya hingga jatuh kembali entah di
mana.
Ya, angin memang selalu menerbangkan segala, juga kenangan. Bahkan
semua kenangan indah tentang diri dan keluarga. Tentang tanah airnya.
Kini yang tersisa adalah kebencian dan amarah. Dendam yang membelitbelit,
kabut dan tentu saja para boneka itu.
Tak akan ada yang mampu menghentikannya sekarang. Tidak juga
Tuhan, pikirnya pongah. Lelaki itu tertawa. Terbahak-bahak sampai keluar
airmata. Sebentar lagi ia akan menjadi manusia dambaannya: Si
Pemusnah. Ya, sebentar lagi ia akan sampai di puncak tujuannya:
memusnahkan tanah airnya sendiri!
Lelaki itu menatap ribuan boneka seukuran dirinya yang berada di
hadapannya. Boneka-bonenci. O, ia telah memindahkan letupan-letupan
angkara itu, gelegak laut dalam dirinya. Darahnya telah laut dan lautnya
berdarah dan….
"Berhentilah, Angkara! Berhentilah!"
Suara itu! Hanya suara itu yang berani memanggilnya demikian.
Perempuan itu! Perempuan yang bersamanya bertahun-tahun. Yang
menempati hati dan mengecup semua lukanya setiap saat, namun tak
sekali pun pernah memanggil namanya. Perempuan yang selalu
membuatnya sadar betapa berkuasanya ia, sang Angkara.
"Sunyi?"
"Ya, aku."
Sosok perempuan itu melayang dalam pandangannya, seperti baru saja
turun dari langit. Wajahnya masih pias seperti dahulu dan ia masih saja
menyukai baju-baju berwarna pucat dengan motif kembang-kembang
merah. Lelaki itu mengucek matanya sekali lagi kala melihat kembangkembang
itu mencair sebagai darah dan menetes-netes jatuh ke tanah.
"Mengapa kau kembali? Mengapa?"
"Aku tak kembali, sebab aku tak pernah pergi, Angkara."
"Kau sudah mati, Sunyi."
"Kau salah, Angkara. Kau yang telah lama mati."
"Mati? Aku tak bisa mati, bahkan bila aku mati!" suara lelaki itu terdengar
parau sesaat namun tetap menggelegar. "Kau tahu, Sunyi. Kalau pun aku
mati, aku akan mati bersama semua kehidupan di tanah ini."
"Dendam selayaknya hanya berhenti pada kata atau bergelinjang dalam
pikiran yang kerdil, tetapi ia tak boleh hadir di permukaan. Kau tahu
mengapa? Sebab Dia dan seluruh mahluk-Nya akan berpaling dari dirimu.
Jejak-jejakmu sebelumnya, bayanganmu pupus oleh kelam dendam yang
kau ukir pada seonggok darah dalam tubuhmu…."
Angkara mendesah. Mereka, seluruh orang di negeri ini pantas
mendapatkan itu, teriak batinnya. Bukankah selama bertahun-tahun
mereka merejam dan membunuh kemanusiaannya? Ya, bahkan tanpa
berpikir sedikit pun akan jasa-jasanya bagi negeri. Jadi mereka yang
menyulut peperangan ini. Orang-orang yang berbuat semaunya itu telah
merekayasa segala hingga ia menjelma orang sepotong. Jadi jangan
tanya ke mana perginya jiwa atau pun kemanusiaannya! Mereka telah
mencerabut itu semua dari dirinya dan menenggelamkannya dalam jelaga
lara tak berkesudahan yang membakar dada dan mencuatkan dendam
dalam langit-langit kepala.
Lalu ketika ada orang yang memberinya uang untuk membeli kepulauan
di luar negeri asalkan ia membuat tanah kelahirannya menjadi api, ia
tergeragap sesaat namun kemudian menganggapnya sebagai suatu tugas
suci. Ya, sebuah tugas suci untuk membersihkan segala yang ada dalam
negerinya dengan api. Hanya dengan api.
"Sunyi…," lelaki itu mendesah, memanggil perempuan yang selalu
dirindukannya.
Tetapi tiada jawaban.
"Kau tak pernah benar-benar ada, bukan?"
Sepi. Hanya kabut pekat menyelubungi.
"Kau hanyalah bayangan yang menarikan tari kebajikan untukku.
Memahatkan senyap yang menggigil dalam kalbu…," Lelaki itu mengusir
perih yang sesaat menusuk batinnya. Ia menarik napas panjang beberapa
lama.
"Sunyi! Sunyiiiii!" Ia terus memanggil perempuan tadi dengan suara yang
kian lama kian sengau. Sungguh, ia mencintai perempuan yang hidup di
batas khayal dan kenyataannya. Ia ingin perempuan itu melahirkan anakanak
mereka. Tetapi bukankah ia hanyalah keindahan yang tiada?
"Ayah! Ayah!"
Lelaki itu menoleh dan menatap ribuan boneka yang menghampirinya dari
berbagai penjuru, bagai kumpulan bocah taman kanak-kanak
menyongsong kedatangan ayah yang menjemput mereka dari sekolah.
"Aku telah melakukannya, ayah!"
"Kita berhasil, ayah!"
Mereka dengan mata menyala menggamit lengannya manja.
Meyakinkannya untuk melihat sesuatu yang telah mereka lakukan di
seluruh negeri. Dan dalam sekejap, lelaki itu merasa berada dalam
sebuah galeri yang memamerkan lukisan mahakarya yang tak seorang
pun mampu berkata kala memandangnya.
Dari kejauhan ia kembali mendengar gemuruh teriakan manusia, suarasuara
ledakan, tangisan bayi dan lirih para jompo memanggil-manggil
nama tuhan mereka. Ia dapat merasakan gedung-gedung yang runtuh
dan tubuh-tubuh yang pecah membentuk kepingan yang hampir sama di
udara. Ia mencium bau gosong dan merasakan geliat resah dan kesah
para pemimpin itu.
Hidung lelaki itu bergerak-gerak, menghirup dengan rakus aroma anyir
darah pada cakrawala, seolah itu adalah wangi kesturi.
Fffhuuihh, sebentar lagi ia akan keluar dari negeri yang poranda ini. Ya,
tak lama lagi, saat semua menjadi arang, hingga tak menyisakan
sejumput asa pun.
Ia bergegas ke tempat persembunyiannya yang jauh dari pusat kota.
Membaca semua koran yang diantarkan pesuruhnya. Hampir semua
mewartakan karya besarnya. Ia menyetel televisi. Matanya picing
menatap kegemparan yang menjadi mini di layar kaca. Rahangnya
mengeras dan gigi-giginya saling menggigit.
"Saudara, pelaku kerusuhan dan pemboman di sejumlah tempat telah
dapat ditangkap oleh aparat keamanan. Mereka adalah…."
Bibir lelaki itu melengkung ke bawah, sesaat kemudian ia terbahak-bahak
hingga airmatanya berlinangan. Ia menggoyang-goyangkan pantatnya di
depan wajah para aparat dan pejabat yang entah mengapa sesaat merasa
lega. Ia berjingkrak-jingkrak dan menarikan tarian aneh yang dulu hanya
bisa dibawakan oleh Calonarang.
"Tuhan tak pernah tidur, Angkara…," bisikan-bisikan Sunyi menerobos
setiap lubang udara yang ada di kediaman lelaki itu. Sesaat lelaki tersebut
merasa angin yang begitu kencang menampar-nampar wajahnya, entah
dari mana.
Tetapi lelaki itu tak peduli. Baginya Sunyi,Tuhan dan semua yang indah
hanyalah imaji risau yang melekat sesaat pada rona hitam hidupnya. Dan
dengan sekali kibasan, ia dapat mengusirnya.
Lelaki itu masih terbahak-bahak, masih berlinangan airmata. Kabut terus
bergerak membentuk gumpalan yang semakin pekat membungkus
dirinya. Di segenap penjuru negeri, para boneka bertepuk tangan.
Sementara itu orang-orang tak berhenti menggigil. Mereka tak mampu
lagi berjalan, hanya merangkak pada genangan merah dan tergelincir
berkali-kali. Setiap pagi, siang dan petang mereka menemukan lagi
tubuh-tubuh terbongkar yang membujur panjang, bagai jembatan tak
bertepi yang menghubungkan tiap daerah di negeri itu.
Dan mereka masih saja bertanya dengan tubuh meremang dan suara
darah: "Si…siapa… dia? Me…mengapa kalian belum juga…
menangkapnya?"

Helvy Tiana Rosa
1 Januari 2000

Kamis, 05 April 2012

Arshia Thufaila 'Thaz': Gebyar Mahasiswa Persatuan Islam

Arshia Thufaila 'Thaz': Gebyar Mahasiswa Persatuan Islam: Ikutilah lomba-lombanya.. Ajak kerabat, teman, sahabat, adik, kakak, sepupu, tetangga atau siapapun yang kalian kenal untuk mengikuti lo...

Arshia Thufaila 'Thaz': Batu (Sutardji Calzoum Bachri)

Arshia Thufaila 'Thaz': Batu (Sutardji Calzoum Bachri): Batu mawar Batu langit Batu duka Batu rindu Batu jarum Batu bisu Kaukah itu teka teki yang tak menepati janji? Dengan seribu g...

Mario Teguh I

Engkau yang malam ini terluka
oleh pengabaian, yang harapanmu ditepis
seperti perca usang,

Kesinilah.

Duduklah di sini bersamaku.

Jika hatimu gamang di ambang tangis,
ijinkanlah ia menangis tulus.

Sesungguhnya,
airmatamu adalah doa penghubung hatimu
yang dibisukan oleh pilunya pengabaian,
dengan perhatian Tuhan.

Wajah yang pasrah kepada Tuhan
adalah wajah yang terindah.

Tuhan akan menyelamatkanmu.

Aamiin

Batu (Sutardji Calzoum Bachri)

Batu mawar
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Batu jarum
Batu bisu
Kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk di ketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu?

Batu risau
Batu pukau
Batu Kau-ku
Batu sepi
Batu ngilu
Batu bisu
Kaukah itu?
teka
teki
yang
tak menepati
janji?

Simpanlah Cintamu Hingga Saatnya Tiba

Bismillahirrahmanirrahim
Seperti kita ketahui, cinta itu fitrah cinta ttu anugerah...Namun bagaimana kita seharusnya menjaga fitrah itu menjadi suatu berkah bukan suatu musibah.. Cinta yang sejatinya menjadikan syurga tempat kembalinya..

Ibnu Abbas berkata."Bahwa orang yang jatuh cinta tidak akan masuk syurga kecuali ia bersabar dan tetap menjaga iffahnya karena Allah dan menyimpan cintanya karena Allah. Dan, ini tidak akan terjadi kecuali bila ia mampu menjaga perasaannya kepada Ma'syuq nya ( kepada orang yang dicintainya), mengutamakan cinta kepada Allah, takut kepada-Nya dan takut dengan-Nya. Dan orang yang mampu bertindak seperti ini, Allah janjikan kepadanya derajat mulia.

"Dan adapun orang-orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya ."[Qs.An-Naazi'aat:40-41]
Boleh jatuh cinta namun tetap jadikan Allah sebagai pelabuhan segala rasa agar engkau tak tunai kecewa.

Gebyar Mahasiswa Persatuan Islam

Ikutilah lomba-lombanya..
Ajak kerabat, teman, sahabat, adik, kakak, sepupu, tetangga atau siapapun yang kalian kenal untuk mengikuti lomba ini. Insya Allah nggak akan rugi kok ^^

CERPEN POLITIK: ASPIRASI ATAU PROPAGANDA?

Artikel Sastra/ Khazanah Pikiran Rakyat

Oleh Nenden Lilis A.

BERBICARA mengenai sastra dan politik selalu tak lepas dari kaitan-kaitan antara
karya sastra, sastrawan, masyarakat, dan negara (pemerintah) beserta kebijakankebijakan
dan ideologi-ideologi yang dianutnya. Hubungan antara keempat unsur itu
sudah diperdebatkan dan diperbincangkan sejak lama (sejak zaman Plato) dan kerap
menimbulkan peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan. Peristiwa-peristiwa itu contohnya
berupa pengusiran atau penjegalan sastrawan dan karyanya dari negara atau
masyarakatnya karena karyanya dianggap membahayakan nilai-nilai atau ideologi
(kebijakan) pemerintah dan masyarakatnya.
Terdapat daftar yang sangat panjang dari peristiwa ini: Boris Pasternak,
Solzhenitsyn, Anna Akhmatova di Rusia, Celine, Victor Hugo di Prancis, Wole Soyinka
di Nigeria, Taslima Nasrin di Bangladesh, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Mochtar
Lubis, Emha Ainun Nadjib di Indonesia, dan masih banyak lagi. Namun, hubungan
antara sastra dan politik juga tak jarang menimbulkan patronage dari pemerintah
terhadap sastrawan yang mau menjadi pendukung dan alat penyebar kebijakan politik
pemerintah.
Hubungan antara sastra dan politik di Indonesia sendiri, sudah terjadi sejak
zaman lampau, sejak zaman ketika para pujangga (sastrawan) mendapat pengayoman
para penguasa (raja). Hal itu terus berlanjut ke masa pemerintahan kolonial (Belanda).
Hal ini misalnya ditandai dengan munculnya karya-karya sastra pada tahun 1922 dan
1924, yakni yang ditulis Mas Marco Kartodikromo dan Semaun, yang menyuarakan dan
menyebarkan komunisme. Sementara itu, pemerintah kolonial sendiri mendirikan Balai
Pustaka yang menjadi alat penyebar ideologi dan kebijakan pemerintah jajahan dalam
penerbitan karya-karya sastra, sekaligus alat pengontrol dan pencegah bacaan-bacaan
yang tidak sesuai/membahayakan kebijakan mereka.
Di zaman Jepang, para sastrawan diraih untuk menyebarkan gagasan
kebangkitan Asia Raya demi kemenangan Jepang.Salah seorang yang terperangkap
dalam propaganda Jepang ini contohnya adalah Nur Sutan Iskandar.
Masuk ke Masa Kemerdekaan, terutama pada zaman Orla (sekitar 1960-an),
hubungan antara sastra dan politik ditandai dengan pertarungan antara kelompok Lekra
yang berpaham kiri dan mendapat pengayoman penguasa (Soekarno) dengan kelompok
Manifes Kebudayaan yang tidak menghendaki sastra dijadikan alat propaganda politik
kelompok tertentu.
Pada Zaman Orde Baru, yang terjadi berlainan dengan zaman-zaman
sebelumnya, sastra dan sastrawan cenderung berhadap-hadapan dengan penguasa.
Represivitas penguasa di berbagai bidang menyebabkan melimpahnya karya-karya
sastra yang didominasi kritik-kritik seputar sosial-politik yang sedang aktual pada waktu
itu yang melakukan resistensi terhadap penguasa. Pada masa ini para sastrawan
mendapat pengawasan ketat dari penguasa, dan yang dianggap membahayakan tak
segan-segan dicekal.

Cerpen Politik
Apa yang diuraikan di atas adalah beberapa gambaran kaitan sastra dan politik.
Gambaran tersebut akan menjadi lebih luas dan lebih panjang lagi apabila pengertian
politik itu sendiri tidak kita batasi.Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan melihat politik
dalam apa yang seperti digambarkan di atas, yakni yang mengacu pada pengertian
politik sebagai segala urusan, tindakan (kebijakan, siasat, dsb.) mengenai pemerintahan
negara (Kamus Besar Bahasa Indonesia) atau politik sebagai tindakan atau kegiatan
yang dipergunakan untuk mendapat kekuasaan dalam negara, masyarakat, atau lembaga
(Sapardi Djoko Damono).
Segala kebijakan dan tindakan tsb. selalu tak lepas dari ideologi tertentu yang
menjadi dasar/acuan tindakannya. Tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan itu pun
menimbulkan akibat-akibat tertentu di masyarakat. Oleh karena itu, pembicaraan
mengenai politik dalam hubungannya dengan sastra (dalam hal ini cerpen sebagai fokus
pembicaraan tulisan ini), tak akan lepas dari pembicaraan mengenai urusan-urusan,
tindakan-tindakan, siasat, kebijakan, ideologi dan kegiatan-kegiatan yang dipergunakan
untuk mendapat kekuasaan dalam negara, masyarakat, atau lembaga tertentu, serta
kondisi-kondisi masyarakat yang ditimbulkannya yang terdapat/tergambar dalam
cerpen dan yang direspon di dalam cerpen (baik berupa dukungan, maupun kritikan,
gugatan, dan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan itu dan
terhadap kodisi-kondisi yang diakibatkannya).

Aspirasi atau Propaganda?
Banyak sudah cerpen di berbagai belahan dunia ini yang berkaitan dengan
politik, baik yang menggambarkan kondisi masyarakat yang diakibatkan kebijakan
politik tertentu, yang mendukung dan menyebarluaskan paham politik tertentu, maupun
yang mengkritik/melawan suatu kebijakan politik.
Cerpen-cerpen yang mendukung dan menyebarluaskan paham politik contohnya
bisa dilihat pada cerpen-cerpen karya Maxim Gorki, Lu Hsun, John Steinbeck,
Pramoedya Ananta Toer yang secara sadar dibuat untuk mendukung dan
menyebarluaskan Marxisme dengan mengacu pada prinsip realisme sosialis yang
dicetuskan Gorki. Pada cerpen-cerpen mereka, pengarangnya secara sadar menjadikan
cerpen sebagai alat perjuangan kelas yang berpihak pada kaum
proletar/buruh/kerakyatan yang diasingkan dan ditindas sistem kapitalis.
Sementara karya-karya, antara lain Anton Chekov dan Solzhenitsyn melakukan
kritik terhadap pemerintahan Sovyet dan elite partai yang dengan paham di atas telah
menjadi penindas baru kaum buruh. Kritik dan perlawanan terhadap kebijakan
pemerintah dengan kondisi masyarakat yang ditimbulkan sebagai akibat kebijakan itu
juga muncul dalam cerpen-cerpen karya pengarang Indonesia, terutama pada akhir
masa orde lama (dapat dilihat pada cerpen-cerpen Angkatan 66) dan semasa Orde Baru.
Hal itu misalnya dapat kita lihat pada cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma, Ahmad
Tohari, Joni Aradinata, Agus Noor, Ratna Indraswari Ibrahim, Lea Pamungkas, dll.
Bahkan, pada cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa, kritik itu tidak hanya diarahkan pada
kebijakan pemerintah dalam negeri, tapi juga kebijakan politik internasional, terutama
yang berkaitan dengan penindasan-penindasan terhadap kaum Islam. Di belahan dunia
lainnya, misalnya Mesir, Nawal el-Saadawi melakukan kritik keras terhadap
kediktatoran pemerintahan Anwar Sadat.
Tatkala kita berbicara hubungan cerpen (sastra) dengan politik seperti di atas
selalu timbul masalah yang tarik-menarik antara prinsip-prinsip estetika sastra dan
kepentingan politik itu sendiri, apalagi terhadap sastra yang berpihak pada pengayom
atau paham politik golongan/negara tertentu. Dalam hal ini selalu timbul pertanyaan
seputar aspirasi dan propaganda yang cenderung dominan disuarakan cerpen-cerpen
politik.
Sebetulnya, tanpa dihubungkan dengan politik pun, saya melihat pada umumnya
karya sastra selalu menyuarakan - atau paling tidak- mengandung aspirasi dan
propaganda. Itu jika kita melihat aspirasi sebagai harapan dan tujuan untuk suatu
perbaikan dan keberhasilan di masa yad, dan propaganda sebagai suatu penerangan
(paham, pendapat, dsb.) yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar
menganut atau mendukung sikap dan pandangan tertentu (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia).
Pengarang, seperti juga anggota masyarakat lainnya, memiliki visi-misi-aspirasi
dalam kehidupannya. Visi-misi-aspirasi ini eksplisit/implisit akan tercermin dalam
karyanya, dan visi-misi-aspirasi itu dikemukakan dalam karyanya tiada lain untuk
mengajak pembacanya mengikuti/mendukung visi-misi-aspirasi tsb.Sebagai contoh,
tatkala seorang Ahmad Tohari menggambarkan keprihatinan terhadap nasib wong cilik
dalam karya-karyanya, ia secara tidak langsung punya harapan/aspirasi akan perbaikan
nasib kaum tersebut dengan cara mengajak pembaca ikut memiliki keprihatinan yang
sama terhadap mereka yang selanjutnya dapat memikirkan dan memperlakukan mereka
pada nasib yang lebih baik.
Yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada aspirasi atau propaganda dalam
cerpen politik, namun pada persoalan cara menuangkan aspirasi atau propaganda itu
dalam karya, serta bagaimana seharusnya isi karya sastra; bagaimana dengan karya
sastra yang sekedar dijadikan alat menyebarluaskan suatu paham politik dan melakukan
pemihakan?
Pada dasarnya, sastra –meminjam istilah Goenawan Mohamad- mengandung
pengabdian/peran yang tak cuma untuk dirinya sendiri di tengah dunia yang penuh
masalah.Ia tak bisa mengabaikan realitas dengan hanya mengotak-atik hal-hal teknis
dan formal dan hanya mementingkan estetika bentuk seperti dikehendaki paham seni
untuk seni. Namun, ia juga tak bisa kehilangan kebebasan dan kemerdekaannya dengan
hanya mengabdi pada pengayom atau kepentingan politik tertentu karena akan hilang
kejembaran pandangan dan wawasan dan sifat keuniversalannya, dan jatuh menjadi
sesuatu yang sempit dan picik atau jatuh menjadi sekedar dogma dan jargon. Ia pun tak
sekedar mementingkan isi karena akan kehilangan hakikatnya, dan ia seharusnya tidak
sekedar menonjolkan aspirasi karena hanya akan berhenti sebagai aspirasi.
Cerpen (karena merupakan salah satu bentuk sastra), seperti tugas-tugas sastra
lainnya, seperti pernah dinyatakan Budi Darma, adalah membentuk jiwa humanitat,
yakni manusia yang halus, manusiawi, dan berbudaya. Hal ini akan terjadi apabila
dicapai sopistikasi estetika bentuk dan isi. Inilah yang membedakan sastra dengan jenisjenis
tulisan lainnya. Yang dicari pembaca dari sastra adalah karena penuangannya yang
berbeda dari jenis-jenis tulisan lainnya karena kalau isi/aspirasi saja bisa dicari
pembaca dalam bentuk/ jenis tulisan lain di luar sastra.
Ini tidak berarti sastra membatasi aspirasi sebab pada kodratnya sastra memiliki
peran, dalam istilah Mathew Arnold, sebagai criticsm of life (kritik kehidupan). Ia
menjadi pengontrol dari berbagai kecenderungan negatif dalam kehidupan. Ia selalu
berpihak pada kemanusiaan dalam artinya yang luas dan dalam, dan selalu ingin
memperbaikinya.Aspirasi dengan demikian, hendaknya muncul dengan menampakkan
wawasan luas, sikap jembar, dan pandangan ke depan.
Dalam kaitan ini kita tampaknya perlu bersetuju dengan apa yang pernah
diungkapkan Budi Darma bahwa agar hal itu bisa tercipta, pengarang harus mampu
menjaga jarak antara sastra di satu pihak dan emosi serta aspirasi di pihak lain, baik
sebagai individu, maupun sebagai wakil dari kesadaran kolektif agar sastranya terbebas
dari pencemaran emosi. Dengan demikian, estetika tetap terjaga.
Sejarah membuktikan karya-karya yang seperti inilah yang menjadi abadi dan
tak habis-habis dan bosannya dikenang, serta menjadi universal di segala zaman, segala
masyarakat, dan segala tempat. Aspirasi tidak verbal, langsung, dan satu sisi sehingga
karya itu –meminjam ungkapan Agus Noor- menjadi dunia cerita yang meluahkan
kekayaan makna, yang membuat kita tak bosan-bosan menafsir dan merebut makna
darinya.
Karya-karya cerpen yang telah disinggung di depan, sekalipun berisi aspirasi
politik, seperti cerpen-cerpen Gabriel Garcia Marquez, Anton Chekov, merupakan
karya-karya universal karena pengarang tidak hanya berhenti pada aspirasi politik
secara harafi, mereka menggali esensi dari aspirasi itu dan menuangkannya dalam
karya yang benar-benar mempertimbangkan estetika.
Pada cerpen-cerpen Maxim Gorki, sekalipun secara isi ia tak menjaga jarak dari
aspirasinya sehingga karyanya terasa melankolik, karena terjadi pengolahan estetika,
terutama dalam pengungkapan bahasanya, menjadi karya yang tetap dikenang hingga
sekarang.
Adapun pada Pramoedya Ananta Toer, di tengah cerpen-cerpennya yang
mengandung nilai-nilai universal, pada beberapa cerpennya kadang-kadang kita temui
sikap menggebu-gebu menonjolkan aspirasi politiknya sehingga tendensi politik itu
sangat terasa.Hal itu misalnya bisa dilihat dalam cerpennya “Sunat” dan “Makhluk di
Belakang Rumah”. Tokoh-tokoh, alur, bahasa tampak menjadi sekedar kendaraan
menyuarakan gagasan dan aspirasi pengarang . Dalam cerpen “Sunat” misalnya,
aspirasi Pramoedya sebagai yang berhaluan kiri sangat terasa ketika ia menampilkan
tokoh-tokoh pemuka agama Islam dengan pandangan yang agak menegasi , seperti
penggambaran tokoh haji yang gila kawin dan kyai yang tak pernah gosok gigi.
Dalam cerpen “Makhluk di Belakang Rumah”, pengarang menciptakan tokohtokoh
kaum buruh (babu) yang amat menderita di bawah penindasan majikannya hingga
si babu mati dengan kematian yang tragis akibat penderitaan itu. Penderitaan ini pun
dibumbui pula dengan komentar-komentar pengarang. Cerpen menjadi terkesan
emosional dan kurang memberi makna yang lebih luas.
Pada cerpen-cerpen masa Orba, aspirasi sosial-politik sangat kental dan
dominan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pembangunan yang
sifatnya materil dengan mengabaikan pembangunan spirituil, terjadinya represivitas,
dan kesenjangan penguasa dengan rakyat, banyak diangkat dan dikritik dalam cerpen.
Tak jarang, di dalam banyak cerpen, karena didorong tendensi sosial yang sangat tinggi,
yang terasa adalah risalah-risalah sosial yang permukaan, tanpa pendalaman estetika.
Hal ini menyebabkan karya yang dihasilkannya bersifat temporal/sementara. Konteks
menjadi berpengaruh besar dalam hal ini. Cerpen-cerpen tsb. terasa sangat kuat pada
saat konteks sosial yang diacunya masih berlangsung dan aktual. Tatkala saat yang
diacunya berlalu, kekuatannya seolah melemah. Cerpen “Kematian Paman Gober” Seno
Gumira Ajidarma misalnya, terasa kuat ketika Soeharto masih berkuasa. Ketika
Soeharto tumbang dan karya itu kita temukan lagi dalam bukunya yang terbit pada masa
reformasi, kekuatan yang kita rasakan sebelumnya tidak terasa lagi.
Masa sekarang, cerpen kita dari segi bentuk dan isi lebih terasa beragam.
Cerpen-cerpen politik pun masih bermunculan. Dengan kondisi yang lebih terbuka,
bagaimana aspirasi dituangkan dalam cerpen-cerpen tsb. dan sejauh mana kekuatannya,
tentunya masih kita tunggu.***

(Penulis adalah cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia)

Rabu, 04 April 2012

Tinta Untuk Menulis Kemaksiatan

Kisah ini dikutip dari buku Kisah Orang-orang Zalim karya Muhammad Abduh.

Berikut ini, mari kita baca sebuah kisah yang menarik. Membacanya harus dengan perenungan yang mendalam, sehingga kita tahu bagiamana seorang hamba dapat selamat dari penguasa yang zalim.
Abu ja’far adalah salah seorang yang terkenal dengan julukan si pemenggal leher, orang yang gemar menumpahkan darah dan membuat takut rakyatnya. Dia mengirim surat kepada Malik bin anas dan Ibnu thawus agar datang menemuinya. Abu Ja’far duduk di atas singgasananya. Di depannya telah digelar karpet merah, semenatara para algojo berjajar disampingnya. Abu Jafar memerintahkan Malik bin Anas dan Ibu thawus untuk duduk. Mereka berdua duduk. Lama sekali.
Abu Ja’far duduk sambil menundukkan kepala, kemudian dia mengangkat kepalanya dan berkata pada Ibnu Thawus, “Coba riwayatkan sebuah hadits yang berasal dari ayahmu!”
Ibu Thawus menjawab, “Saya mendengar bapak saya berkata, “Rasulullah saw bersabda, Manusia yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah seseorang yang diberi kekuasaan oleh Allah. Namun, laki-laki itu berlaku zalim dalam kekuasaannya.”
Abu Ja’far diam, hingga malam menyelimuti mereka. Malik berkata di dalam hati, ‘Saya takut terjadi sesuatu pada diri Ibnu thawus.”
Abu Ja’far berkata, “hai Ibnu Thawus ambilkan saya tinta yang ada di dekatmu.” Ibnu Thawus tidak bergerak. Abu Ja’far kembali berkata, “Apa yang menghalangimu tidak mau mengambil tinta itu untuk untukku?” Ibnu Thawus menjawab. “Saya takut, engkau menggunakan tinta itu untuk menulis suatu kemaksiatan. Jika demikian, saya telah menjadi sekutumu dalam berbuat maksiat.”
Mendengar ucapan ini, Abu Ja’far berkata, “Pergilah kalian berdua!”
Ibnu Thawus membacakan sebuah ayat dan ayat itu adalah, “Itulah yang kamu harapkan.” (QS. Al-Kahfi [18]: 64)
Malik berkata, “Sejak hari itu, saya senantiasa mengenak karisma Ibnu Thawus.”
Kisah di atas itu merupakan kisah yang sangat menakjubkan. Ibnu Thawus berdiri di hadapan seorang penguasa yang amat kejam dan ringan tangan. Setiap saat dia bias memenggal leher siapa saja yang tidak sepaham. Dia tidak merasa takut pada Allah. Ibnu thawus selamat dari kekejaman Abu Ja’far dan peristiwa ini telah dicatat dalam sejarah.

Kisah yang sangat inspiratif dan perlu diperhatikan oleh para penulis..


Mandikan Aku, Bunda...


Arshia Thufaila 'Thaz': Tangan Ibuku

Arshia Thufaila 'Thaz': Tangan Ibuku: Kisah ini dikutip dari buku Mengasah Hati karya Zaim Saidi. Semoga bermanfaat dan insya Allah inspiratif.. Beberapa tahun lalu, ket...

Tangan Ibuku


Kisah ini dikutip dari buku Mengasah Hati karya Zaim Saidi. Semoga bermanfaat dan insya Allah inspiratif..

Beberapa tahun lalu, ketika ibu datang berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi belanja bersama orang lain. Dan saya bukanlah orang yang sabar. Tetapi, walaupun demikian, kami berangkat juga ke pusat perbelanjaan
Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, dan ibu saya mencoba gaun demi  gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah dan ibu saya mulai frustasi. Akhirnya, pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dank arena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian. Saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya.
Ternyata tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat melakukannya. Seketika kesabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang dalam kepadanya. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata saya yang mengalir keluar tanpa saya sadari. Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut.
Pakaian ini begitu indah, dan dia membelinya. Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang yangan ibu saya yang sedang berusaha mengikati tali blusnya. Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeuk saya. Sekarang tangan itu telah menyentuh hati  saya dengan cara yang paling membekas di hati.
Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu, mengambil tangannya, menciumnya dan yang membuatnya terkejut, memberitahukannya bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata saya yang baru, betapa bernilai dan berharganya kasih saying yang penuh pengorbanan dari seorang ibu.
Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.


Senin, 02 April 2012

Islamic Student Fair

AYOO IKUTAN! Nama Acara: Islamic Student Fair Rangkaian Acara: 1. University Preparation Days Tempat: Aula Timur Waktu: 19-20 Mei 2012 Jumlah Hari Pelaksanaan: 2 hari Target Peserta: 500 Kegiatan yg akan diselenggarakan: TO, Seminar Motivasi & Training, Presentasi PTN & PTS, Stand PTN & PTS khusus kelas 3 SMA 2. Book Fair Tempat: Sekitar Komplek Masjid Salman ITB (Paving Blok samping Kantin Salman dan Selasar Hijau) Waktu: 14-20 Mei 2012 Jumlah Hari Pelaksanaan: 7 hari Kegiatan yg akan diselenggarakan: Bazaar Buku dan Bedah buku. 3. Charity Pengumpulan buku dan barang2 lain yang layak untuk disumbangan. 4. Islamic Student League Tempat: Sekitar Komplek Masjid Salman ITB (GSS E & Panggung di lapangan rumput) Waktu: 19-20 Mei 2012 (2 hari) Kegiatan yang diselenggarakan: Presentation Challenge dan Muslim Voice Festival dengan peserta siswa SMA, SMK, & MA 5. High School Student Expo Tempat: Selasar Sekitar Komplek Masjid Salman ITB (Lapangan Rumput) Waktu: 20 Mei 2012 (1 Hari) Kegiatan yang diselenggarakan: Pameran hasil karya dan prestasi (SMA, SMK, ekskul, dll.). Info lebih lanjut klik disini http://kakiikan.tumblr.com/post/20282302093/ayoo-ikutan-nama-acara-islamic-student-fair

Cerpen Bag 1

Bismillahirrahmanirrahim

Mesjid itu seakan menjadi saksi  kebisuan dan kepiluan hati. Sunyi, sepi, mendung, seakan memihak suasana hatiku. Keramaian disana seakan-akan hening. Yang terdengar adalah suaranya yang menggelegar, sesungguhnya lembut suaranya jika ia mengucapkan kata yang ku inginkan. Memberikan jawaban yang sesuai dengan hati. Katanya terdengar menyakitkan, seungguhnya indah dan puitislah kata-kata yang diucapkannya. itupun jika sesuai dengan kata hatiku. namun, nyatanya berlawanan dengan kemauan hati. Aku hanya mampu memandang langit, bergiliran dengan menara mesjid yang menjulang. Langit tengah berburai air mata, mewakili seluruh perasaan saat itu.
Ah biarlah waktu yang menjawab...
SEMINAR PENDIDIKAN
"Kualitas guru penentu masa depan anak bangsa"
Pembicara :

Utomo Dananjaya (Pakar Pendidikan)
Dr.Mamat Supriatna , M.Pd. (Tokoh Pendidikan Karakter)

Ahad, 15 April 2012
Pk.09.00
@Gd.Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia
HTM :Rp.25.000 (Mahasiswa)
Rp.35.000 (Umum)

Pemesanan tiket sebelum tanggal 10 April HTM :Rp.20.000 (Mahasiswa)
Rp.30.000 (Umum)

Be there

Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Segala Info lomba Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia (GBSI) dapat di akses melalui http://gbsiupi.blogspot.com/

Minggu, 01 April 2012

ANGIN HARAPAN YANG BERHEMBUS DARI KAMPUS

Oleh Nenden Lilis A.

Mengapa puisi masih ditulis? Dan, untuk apa ditulis? Dunia kita saat ini adalah
dunia yang semakin dicengkeram budaya materi. Nilai yang berlaku adalah nilai tukar.
Manusia pun dijadikan mesin bagi percepatan perputaran nilai tukar itu.Segala sesuatu
dituntut cepat sehingga menjadi serba praktis dan serba instan. Dalam dunia seperti ini,
manusia kehilangan ruang dan waktu. Ketenangan, kontemplasi, dan perenungan menjadi
begitu mahal. Tetapi, di tengah dunia seperti ini, mengapa masih ada yang menulis puisi,
bidang yang tidak praktis itu?
Mereka yang memilih jalan ini saat ini adalah mereka yang punya keberanian.
Betapa tidak. Yang mereka tempuh adalah jalan sunyi sepi dalam keterasingan sebab di
luar, dunia begitu gemerlap, hingar bingar dengan glamoritasnya, dengan hedonismenya,
yang demikian menggoda.
Ya. Memasuki jalan sastra adalah memasuki suatu wilayah dengan tantangan
yang tidak kecil. Mereka yang berhasil menelusuri jalan ini adalah mereka yang
menapakinya dengan penuh ketulusan dan keseriusan.
Jalan inilah yang kini tengah dimasuki dan ditapaki para mahasiswa Program
Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI
angkatan 2007 lewat kumpulan puisi yang mereka buat ini. Terlepas dari berbagai
motivasi di balik penyusunan antologi ini, yang mereka lakukan, mau tidak mau,
menjadi tanda bagaimana mereka telah memasuki wilayah itu, suatu wilayah yang
menunjukkan telah terjadi suatu pergulatan lain dalam kehidupan mereka. Bisa jadi
pergulatan itu baru sebatas anak muda yang sedang melakukan proses pencarian identitas,
tapi bisa jadi merupakan pergulatan yang telah didasari suatu kesadaaran sebagai individu
yang merasakan “panggilan jiwa” pada yang bernama puisi.
***
Siapapun boleh menulis puisi, termasuk para mahasiswa ini. Apalagi mereka
memang berkecimpung dalam suatu institusi sastra. Bukan zamannya lagi menganggap
bakat yang dibawa sejak lahir sebagai faktor utama dalam kegiatan dan keberhasilan
menulis. Bakat sesungguhnya terdiri atas 99% kerja keras / latihan, demikian kata
Einstein,ilmuwan kesohor itu. Artinya, menulis bukan hanya milik mereka yang dianggap
sudah diberi kemampuan itu dari sono-nya. Menulis, termasuk menulis puisi bisa
dipelajari. Dan keberadaan kampus, terutama jurusan sastra, sangat menungkinkan hal
itu.
Sejarah kesusastraan kita mencatat, betapa pentingnya peran kampus dalam
melahirkan para penulis, termasuk penulis puisi. Banyak sastrawan besar kita , tumbuh
dan berkembang melalui kampus. Sebutlah nama Umar Kayam, Bakdi Sumanto, Sapardi
Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi AG, dan masih segudang yang
lainnya tumbuh sebagai sastrawan melalui kampus.
Sekalipun sasrawan-sastrawan itu tidak semuanya secara langsung besar melalui
jurusan sastra, sangat dimengerti jika kampus menjadi lingkungan yang berperan dalam
menumbuhkan spirit itu. Selama ini kampus selalu diposisikan sebagai center of
excellence, agent of change, tempat tumbuhnya ilmu, tempat terjadinya persemaian
gagasan, dan tempat mengasah tradisi literasi. Justru sangat aneh jika kampus mandul
dalam melahirkan penulis.
Sangat menggembirakan tatkala kita melihat hingga hari ini kampus masih
melahirkan individu-individu yang memiliki gairah menulis dan bersastra. Ini adalah
angin sejuk yang memberi harapan bahwa kampus masih menjalankan fungsinya seperti
disebutkan di atas. Ini juga adalah suatu angin segar yang menimbulkan keyakinan bahwa
tidak semua anak muda larut dan terbawa arus budaya materi seperti dinyatakan di
atas.Masih banyak yang sadar akan perlunya menjaga dan menyeimbangkan hidup
dengan nilai-nilai spiritualitas. Lihatlah bagaimana para penulis dalam antologi ini
menggali tema religi, kritik sosial, persoalan moralitas ,dll dalam karya-karyanya, selain
banyak pula yang berbicara tema-tema psikologis individu.
Memang, sekian banyak puisi dalam antologi ini masih terasa sebagai curhat.
Masih dirasakan pula kegagapan-kegagapan dalam pengungkapannya. Mereka memang
masih dalam proses awal dalam mengasah kemampuan mereka. Semoga proses itu tidak
berhenti di tengah jalan, apalagi jika sekedar mengejar nilai formal perkuliahan. Semoga
spirit ini terus diasah dan dikembangkan dalam hidup mereka. Saat ini, dunia kita yang
semakin kering, memerlukan siraman, salah satunya dari puisi.***
*) Nenden Lilis A., penyair.