Selasa, 29 Mei 2012

Intterlude


Dimanakah semesta saat aku menatapmu?
Hanya hujan yang menampar-nampa muka
Tak ada tempat berpijak selain gemuruh
Langit menjelma kaca kita yang retak
Lara cuaca

Namun kau harus pelangi, seperti katamu
Muncul sewaktu-waktu
Dan menyisakan warna birunya selalu
Dalam kamus sunyiku

Helvy Tiana Rosa
Kemayoran, 1988

Selasa, 22 Mei 2012

Arshia Thufaila 'Thaz': Kepada Tuan Teroris karya Helvy Tiana Rosa

Arshia Thufaila 'Thaz': Kepada Tuan Teroris karya Helvy Tiana Rosa:  Ini adalah salah satu puisi favoritku dari buku antologi puisi 'Mata Ketiga Cinta' karya Helvy Tiana Rosa Suatu hari lepas trage...

Kepada Tuan Teroris karya Helvy Tiana Rosa



 Ini adalah salah satu puisi favoritku dari buku antologi puisi 'Mata Ketiga Cinta' karya Helvy Tiana Rosa

Suatu hari lepas tragedi 11 September kau berkata pada dunia, berulangkali
dengan mulut api, “Usamah bin Ladin adalah teroris!”

Tapi pada saat yang sama kau kerahkan pasukan serbu
Afghanistan mencari Usamah bin Ladin. Ribuan rakyat tak  berdosa mati dengan jasad terbongkar. Tanah gering menyerap darah tak rela. Usamah tak ada di sana
Kau masih berterik-teriak gelegar ke setiap penjuru, menciutkan nyali banyak negeri. “Usamah, Abdullah, Umar, Muhammad, Ibrahim” itulah nama-nama para teroris, katamu dan kau menyebut penuh prasangka nama-nama para ulama dalam daftar yang sungguh panjang
Pada saat yang sama, kau sang pemimpin polisi dunia, menikmati pertunjukkan di Palestina sambil memaki para pejuang kemerdekaan Palestina sebagai teroris serta bersalaman dengan Sharon sang penjagal
Padahal Palestina berjuang untuk merdeka dari kebiadaban Zionis Israel
Di sana anak-anak kecil berkafiyeh melemparkan batu pada penjajah
namun tangan dan kaki mungil itu dipatahkan, orangtua mereka dibantai dan dipenjarakan. Setiap hari di Palestina setiap diri mati berkali-kali. Tuhan, bagaimana kau bisa menyebut mereka yang terjajah dan tak berdaya itu sebagai teroris, sementara sang aggressor kau sebut sebagai pencinta damai? O, betapa hebat kau menyusun kata mengalahkan semua penyair, juga membentuk opini dunia.
“Mari perangi terorisme!” katau. Dan seperti yang dilakukan ayahmu tahun 1991 saat ia menjatuhkan 88  ribu ton bom di Irak---jumlah yang setara dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkan di Hiroshima---
kau  gempur kembali Irak dengan ganas, tak peduli airmata para bayi pemilik negeri, maka mayat-mayat berserakan, gedung-gedung hangus dan runtuh. “Itulah balasan  pemilik persenjataan berat!” katamu. Padahal negeri itu hanya kaya minyak: sesuatu yang tak pernah kau punya
maka lagi-lagi aku membaca ngilu di Koran, mendengar tangis di radio dan menonton darah di televise, lantas terkejut ketika kau sebut-sebut juga negeriku
Indonesia, O, negeri para kuli, di sanalah sarang para  teroris. Bisik-bisik itu, isyaratmu ditulis jadi berita semesta, yangan-tangan dunia menuding kami.
Tapi, meski begitu, kuteriakkan padamu kini: kau adalah Hitler: adalah Ariel Sharon, adalah Slobodan Milosevic: Dan pertanyaan-pertanyaan ini kulontarkan kembali:
Benar kau murni memerangi terorisme internasional? Lalu mengapa untuk memburu seorang Usamah kau harus membantai ribuan muslimin Afghanistan? Kalau kau konsisten memerangi terorisme, mengapa hanya orang-orang Islam yang kau perangi? Mengapa teroris yang bukan Islam tak kau gubris? Mengapa bila hak asasi umat Islam di negaramu atau di mana saja ditindas kau bungkam?
Sebaliknya mengapa jika ada seorang saja muslim yang melakukan tindak kekerasan dicap sebagai teroris? HAM ditanganmu pedang bermata dua yang melibas kaum Muslimin. Demokrasimu democrazy belaka.
Maka begitulah. Kutulis puisi ini dengan dada nyeri . kurasa tak perlu bagus apalagi berestetika tinggi. Sebab puisi ini hanya untukmu: Tuan Teroris. Kukirimkan bersama ludahku tepat diwajahmu.

Cipayung-Senayan, 28 September 2002

Duri



“Sekali aku mencintai, maka ini tak akan selesai.” Katamu suatu ketika.
Tetapi hari itu kamu membanting kaca jendela kenangan kita hingga berhamburan
Serpihannya masuk ke mata dan batinku
Menjadi duri-duri yang menancap abadi

Aku buta, nir rasa
Bahkan tak ingat pada suatu masa
Aku pernah mengenalmu

Helvy Tiana Rosa
Rawamangun, 2011

Kau



Kau kirimkan beribu kupu-kupu
Yang tak henti mengepakkan sayap
Dalam tubuhku
Dan sketsa
Tentang bianglala
Tanpa luka
: Aku ingin
Helvy Tiana Rosa
19 desember 2008

Cinta karya HTR



Aku mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi
Aku mencintaimu sampai laut, sampai langit, sampai darah, sampai mati
Setiap hari kucatat dan kupotret kau dalam batin
Kau menempel di buku-buku, di televise, di gedung-gedung dan panggung pertunjukkan
Juga pada angin dan debu pada napasku
Aku berjalan tersaruk mengendusi semua jejak
Yang kau tinggalkan seperti pemburu yang Saturday

Panggil aku cinta
Bukan, aku bukan wanita khayalanmu
Au yang mendambamu hingga ke paling lembah
Apakah kau percaya pada ada dan tiada?
Sebab aku mungkin ada.
Sebab aku mungkin hanya tiada
Sepotong diam yang tak henti mencinta
Hingga penghujung senja

Helvy Tiana Rosa
Kemayoran, 1988

Segi



Suatu masa tanyaku, “Malas itu apa?”
Malas itu pemusnah cita
Malas itu pengubur asa
Malas itu penimbun suka
Lain masa tanya seorang anak, “Malas itu apa?”
Malas itu penambah cinta
Malas itu penyubur rasa
Malas itu pengobat sakit

Bandung, 22 Mei 2012
Di tengah asa yang tenggelam