Ini adalah salah satu puisi favoritku dari buku antologi puisi 'Mata Ketiga Cinta' karya Helvy Tiana Rosa
Suatu hari lepas tragedi 11
September kau berkata pada dunia, berulangkali
dengan mulut api, “Usamah bin Ladin
adalah teroris!”
Tapi pada saat yang sama kau
kerahkan pasukan serbu
Afghanistan mencari Usamah bin
Ladin. Ribuan rakyat tak berdosa mati
dengan jasad terbongkar. Tanah gering menyerap darah tak rela. Usamah tak ada di
sana
Kau masih berterik-teriak gelegar ke
setiap penjuru, menciutkan nyali banyak negeri. “Usamah, Abdullah, Umar,
Muhammad, Ibrahim” itulah nama-nama para teroris, katamu dan kau menyebut penuh
prasangka nama-nama para ulama dalam daftar yang sungguh panjang
Pada saat yang sama, kau sang
pemimpin polisi dunia, menikmati pertunjukkan di Palestina sambil memaki para
pejuang kemerdekaan Palestina sebagai teroris serta bersalaman dengan Sharon
sang penjagal
Padahal Palestina berjuang untuk
merdeka dari kebiadaban Zionis Israel
Di sana anak-anak kecil berkafiyeh
melemparkan batu pada penjajah
namun tangan dan kaki mungil itu
dipatahkan, orangtua mereka dibantai dan dipenjarakan. Setiap hari di Palestina
setiap diri mati berkali-kali. Tuhan, bagaimana kau bisa menyebut mereka yang
terjajah dan tak berdaya itu sebagai teroris, sementara sang aggressor kau
sebut sebagai pencinta damai? O, betapa hebat kau menyusun kata mengalahkan
semua penyair, juga membentuk opini dunia.
“Mari perangi terorisme!” katau. Dan
seperti yang dilakukan ayahmu tahun 1991 saat ia menjatuhkan 88 ribu ton bom di Irak---jumlah yang setara
dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkan di Hiroshima---
kau gempur kembali Irak dengan ganas, tak peduli
airmata para bayi pemilik negeri, maka mayat-mayat berserakan, gedung-gedung
hangus dan runtuh. “Itulah balasan pemilik persenjataan berat!” katamu. Padahal negeri
itu hanya kaya minyak: sesuatu yang tak pernah kau punya
maka lagi-lagi aku membaca ngilu di Koran,
mendengar tangis di radio dan menonton darah di televise, lantas terkejut
ketika kau sebut-sebut juga negeriku
Indonesia, O, negeri para kuli, di
sanalah sarang para teroris. Bisik-bisik
itu, isyaratmu ditulis jadi berita semesta, yangan-tangan dunia menuding kami.
Tapi, meski begitu, kuteriakkan
padamu kini: kau adalah Hitler: adalah Ariel Sharon, adalah Slobodan Milosevic:
Dan pertanyaan-pertanyaan ini kulontarkan kembali:
Benar kau murni memerangi terorisme
internasional? Lalu mengapa untuk memburu seorang Usamah kau harus membantai
ribuan muslimin Afghanistan? Kalau kau konsisten memerangi terorisme, mengapa
hanya orang-orang Islam yang kau perangi? Mengapa teroris yang bukan Islam tak
kau gubris? Mengapa bila hak asasi umat Islam di negaramu atau di mana saja ditindas
kau bungkam?
Sebaliknya mengapa jika ada seorang
saja muslim yang melakukan tindak kekerasan dicap sebagai teroris? HAM
ditanganmu pedang bermata dua yang melibas kaum Muslimin. Demokrasimu democrazy
belaka.
Maka begitulah. Kutulis puisi ini
dengan dada nyeri . kurasa tak perlu bagus apalagi berestetika tinggi. Sebab puisi
ini hanya untukmu: Tuan Teroris. Kukirimkan bersama ludahku tepat diwajahmu.
Cipayung-Senayan, 28 September 2002