Minggu, 19 Februari 2012

Sutardji Calzoum Bachri


Sumber: Wikipedia
Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.

Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.

Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.

O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.

SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA


Oleh :
Emha Ainun Najib

  
 Satu
 Masjid itu dua macamnya
 Satu ruh, lainnya badan
 Satu di atas tanah berdiri
 Lainnya bersemayam di hati
 Tak boleh hilang salah satunya
 Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
 Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
 Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
 Dua
 Masjid selalu dua macamnya
 Satu terbuat dari bata dan logam
 Lainnya tak terperi
 Karena sejati
 Tiga
 Masjid batu bata
 Berdiri di mana-mana
 Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
 Timbul tenggelam antara ada dan tiada
 Mungkin di hati kita
 Di dalam jiwa, di pusat sukma
 Membisikkannama Allah ta'ala
 Kita diajari mengenali-Nya
 Di dalam masjid batu bata
 Kita melangkah, kemudian bersujud
 Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
 Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
 Empat
 Sangat mahal biaya masjid badan
 Padahal temboknya berlumut karena hujan
 Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
  Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
 Masjid badan gmpang binasa
 Matahari mengelupas warnanya
 Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
 Oleh gempa ambruk dindingnya
 Masjid ruh mengabadi
 Pisau tak sanggup menikamnya
 Senapan tak bisa membidiknya
 Politik tak mampu memenjarakannya
 Lima
 Masjid ruh kita baw ke mana-mana
 Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
 Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
 Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
 Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
 Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
 Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
 Sebab majid ruh adalah semesta raya
 Jika kita berumah di masjid ruh
 Tak kuasa para musuh melihat kita
 Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
 Mereka menembak hanya bayangan kita
 Enam
 Masjid itu dua macamnya
 Masjid badan berdiri kaku
 Tak bisa digenggam
 Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
 Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
 Melampaui ujung waktu nun di sana
 Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
 Hinggap di keharibaan cinta-Nya
 Tujuh
 Masjid itu dua macamnya
 Orang yang hanya punya masjid pertama
 Segera mati sebelum membusuk dagingnya
 Karena kiblatnya hanya batu berhala
 Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
 Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
 Tidak memiliki tanah pijakan
 Sehingga kakinya gagal berjalan
 Maka hanya bagi orang yang waspada
 Dua masjid menjadi satu jumlahnya
 Syariat dan hakikat
 Menyatu dalam tarikat ke makrifat
 Delapan
 Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
 Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
 Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
 Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
 Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
 Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
 Itu sekedar pertengkaran suami istri
 Untuk memperoleh kemesraan kembali
 Para pemimpin saling bercuriga
 Kelompok satu mengafirkan lainnya
 Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
 Sambil menggali penemuan model imamah
 Sembilan
 Seribu masjid dibangun
 Seribu lainnya didirikan
 Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
 Tagihan masa depan kita cicilkan
 Seribu orang mendirikan satu masjid badan
 Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
 Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
 Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
 Bergetar menyatu sejumlah Allah
 Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
 Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
 Allah itu mustahil kalah
 Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
 Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
 Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!

DARI BENTANGAN LANGIT


Oleh :
Emha Ainun Najib


 
 
 
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.