1. Penulisan Al Quran pada Masa Rasulullah saw.
Madinah adalah tempat yang kondusif
untuk mengajarkan Alquran. Untuk belajar Alquran para sahabat tidak pernah
memedulikan rintangan apa yang harus mereka hadapi. Beberapa sahabat tidak
menghiraukan jarak yang harus mereka tempuh untuk sampai ke mesjid tempat
pengajaran Alquran. Tidak heran jika kemudian banyak sahabat yang hafal Alquran
dan memahaminya di luar kepala. Tidak jarang Rasulullah meminta para sahabat
untuk membacakan Alquran dihadapannya. Abdullah ibn Mas’ud adalah salah satu
sahabat yang dimintai untuk membacakan Alquran dihadapan Rasul. Hal tersebut
dikarenakan beliau senang mendengarkan bacaan Alquran dari pada sahabat.
Pada periode ini pengumpulan atau
penjagaan Alquran dilakukan dalam dua cara; Al-Jam’u fi al-Shudur (dihafal)
dan al-Jam’u fi al-Suthur (ditulis).
a.
Al-Jam’u fi al-Shudur (dihafal)
Rasulullah selalu menyampaikan wahyu
yang turun kepada para sahabat, untuk kemudian menghafalnya. Dalam tradisi Arab
menghafal adalah hal yang biasa. Mereka terbiasa menghafal secara turun temurun
syair dan cerita.
“Menurut al-Suyuthi, pada masa
Rasulullah, sudah ada majelis khusus menghafal dan mempelajari Alquran.” (Mattson: 11)
Pada masa Rasulullah, para sahabat
fokus menghafal Alquran. Mereka menghabiskan waktu untuk menghafal, mengulang
hafalan dan saling menyimak hafalan satu sama lain. Sehingga jika ada orang
yang tidak menghafal Alquran akan merasa malu. Sebab hampir seluruh sahabat
menghafal Alquran. Sehingga tidak heran jika hampir seluruh sahabat di Madinah
hafal Alquran, hanya beberapa orang saja yang tidak hafal.
b.
Al-jam’u fi al-Suthur (ditulis)
Setiap Rasulullah menerima wahyu
beliau menghafalnya dan menyampaikan kepada para sahabat untuk dihafalkan.
Kemudian menurut berbagai riwayat yang shahih Rasulullah memanggil beberapa
orang sahabat untuk menuliskannya.
“Misalnya, Nabi berkata ketika
turunayat 95 dari surat An-Nisa: ‘Panggilkan saya Zayd, dan hendaklah dia
membawa tulang dan tinta kesini’.” (Baidan: 26)
Para sahabat yang terkenal dalam
menulis wahyu di periode Mekah ialah ‘Abd Allah bin Abi Sarh, Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib, al-Zubayr bin ‘Awwam, Khalid
dan Aban, Hanzhalah bin al-Rabi’ al-Asadi, Mu’ayqib bin Abi Fathimah, ‘Abd
Allah bin al-Arqam al-Zuhri, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Abd Allah bin Rawahah.
Sedang pada periode Madinah ialah
Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abd Alah bin Mas’ud, Abu
al-Darda, Mu’adz bin Jabal, dan lain lain.
Pada masa itu belum ditemukan cara
pembuatan kertas, sehingga para sahabat mencatat ayat-ayat Alquran pada
benda-benda yang mudah didapat. Para sahabat menuliskan ayat-ayat Alquran pada benda-benda
berikut.
1.
Ujung pelepah kurma (al-usb0
2.
Batu-batu tipis (al-lakhaf)
3.
Kulit binatang atau pohon(ar-riqa’)
4.
Pangkal pelepah kurma yang tebal (al-karanif)
5.
Tulang belikat yang telah kering (al-aktaf)
6.
Kayu tempat duduk pada unta (al-aktab)
7.
Tulang rusuk binatang(al-adhla’)
(Mahyasin:
114)
Rasulullah tidak menyuruh
mengumpulkan Alquran pada satu mushaf, disebabkan hal-hal berikut.
a.
Bahwasanya perhatian para sahabat tertuju pada
penghafalannya di luar kepala dan telah banyak para sahabat yang hafal seluruh
Alquran.
b.
Rasulullah saw. selalu berharap dan menunggu
datangnya tambahan atau ayat yang menyisihkan (nasakh) sebagian lainnya.
(Mahyasin: 115)
2.
Pengumpulan Al Quran pada Masa Abu Bakar ra.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar
menjadi khalifah pertama yang memimpin umat Islam. Pada masanya banyak orang
Islam yang lemah imannya menjadi murtad, lalu sebagian kabilah Arab tidak mau
membayar zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi orang-orang tersebut. Sehingga
terjadilah peperangan Yamamah pada tahun 12 Hijriah. Perang tersebut diikuti
oleh sebagian penghafal Alquran.
Menurut riwayat, pada perang
tersebut terdapat 70 orang penghafal Alquran yang mati syahid. Hal itu membuat
Umar bin Khattab merasa khawatir bahwa suatu hari Alquran akan hilang seiring
dengan kematian para penghafal Alquran. Beliau kemudian mengemukakan
pendapatnya kepada Abu Bakar, bahwa diperlukan pengumpulan Alquran. Abu Bakar
sempat ragu, karena ia khawatir hal tersebut termasuk bid’ah. Namun Umar
meyakinkan Abu Bakar, bahwa usulannya tersebut untuk kemaslahatan umat.
Akhirnya Abu Bakar setuju dan menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan
Alquran pada satu mushaf. Reaksi Zaid bin Tsabit tidak jauh berbeda dengan Abu
Bakar, merasa khawatir hal tersebut termasuk bid’ah. Namun Umar dan Abu Bakar
memaparkan alasannya sehingga Zaid bin Tsabit akhirnya setuju. Zaid kemudian
mengumpulkan Alquran pada satu mushaf yang disimpan oleh Abu Bakar di rumahnya.
Yang menjadi sandaran utama
penulisan Alquran yaitu harus terdapat bukti berupa tulisan dan hafalan para
sahabat. Jika salah satunya tidak ditemukan, maka Zaid menangguhkan
menuliskannya hingga keduanya (tulisan dan hafalan) dapat ditemukan.
3.
Penyeragaman Al Quran pada Masa Utsman ra.
Meluasnya kekuasaan Islam dan
tersebarnya para penghafal Alquran ke berbagai tempat menyebabkan penduduk di
berbagai tempat mengikuti bacaan para sahabat di tempat tersebut, sehingga;
a.
Penduduk kota Syam (Syiria) membaca Al-Quran
mengikuti bacaan Ubai ibn Ka’ab (wafat tahun 20 H)
b.
Penduduk Kufah membaca Al-Quran mengikuti
bacaan Abdullah ibn Mas’ud (wafat tahun 32 H)
c.
Penduduk kota-kota lainnya mengikuti bacaan Abu
Musa Al-Asy’ari (wafat tahun 44 H), dan begitulah seterusnya.
(Mahyasin: 123).
Segi bacaaan-bacaan mereka
berbeda-beda, sesuai dengan huruf-huruf yang diturunkan kepada Rasulullah.
Namun ternyata hal tersebut menimbulkan tanda tanya di benak umat Muslim yang
tidak pernah mendengar langsung dari Rasulullah.
Ketika terjadi penaklukan Armenia
dan Ajerbaijan, penduduk kota Syam dan Irak bertemu. Yaman yang ikut pada
perang tersebut menyadari bahwa ada perselisihan diantara umat Muslim.
Masing-masing mereka menganggap bahwa bacaannya yang paling baik. Yaman
kemudian melaporkan hal tersebut pada Umar bin Khattab.
Mendengar berita tersebut, Umar
merasa khawatir kalau hal tersebut dapat memecah-belah umat Islam. Sehingga ia
memutuskan untuk bermusyawarah dengan sahabat yang lainnya. Lalu diambilah
keputusan untuk menyatukan Alquran pada satu mushaf saja. Untuk kemudian
dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan. Beberapa mushaf tersebut
disebarkan ke kota-kota yang lain.
Daftar Pustaka
Mahyasin, M.S., (2005). Sejarah
Alquran: Studi Awal Memahami Kitabullah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Mattson, I., (2013). Ulumul Quran
Zaman Kita. Jakarta: Zaman.
Nashruddin Baiddan, (2005). Wawasan
Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.