Kamis, 29 Maret 2012

Sitti Nurbaya Bag I

I. PULANG DARI SEKOLAH

Kira-kira pukul satu siang, kelihatan dua orang anak muda,
bernaung di bawah pohon ketapang yang rindang, di muka
sekolah Belanda Pasar Ambacang di Padang, seolah-olah mereka
hendak memperlindungkan dirinya dari panas yang memancar
dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang mendidih.
Seorang dari anak muda ini, ialah anak laki-laki, yang umurnya
kira-kira 18 tahun. Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana
pendek hitam, yang berkancing di ujungnya. Sepatunya sepatu
hitam tinggi, yang disambung ke atas dengan kaus sutera hitam
pula dan diikatkan dengan ikatan kaus getah pada betisnya.
Topinya topi rumput putih, yang biasa dipakai bangsa Belanda.
Di tangan kirinya ada beberapa kitab dengan sebuah peta bumi
dan dengan tangan kanannya dipegangnya sebuah belebas, yang
dipukul-pukulkannya ke betisnya.
Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka, anak muda
ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah.
Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa;
karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan
matanya hitam sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan
tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula.
Hidungnya mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak
gemuk dan tak kurus, tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang
jernih dan tenang, berbayang, bahwa ia seorang yang lurus,
tetapi keras hati; tak mudah dibantah, barang sesuatu maksudnya.
Menilik pakaian dan rumah sekolahnya, nyata ia anak
seorang yang mampu dan tertib sopannya menyatakan ia anak
seorang yang berbangsa tinggi.
Teman anak muda ini, ialah seorang anak perempuan yang
umurnya kira-kira 15 tahun. Pakaian gadis ini pun sebagai
pakaian anak Belanda juga. Rambutnya yang hitam dan tebal itu,
dijalinnya dan diikatnya dengan benang sutera, dan diberinya
pula berpita hitam di ujungnya. Gaunnya (baju nona-nona)
terbuat dari kain batis, yang berkembang merah jambu. Sepatu
dan kausnya, coklat wamanya. Dengan tangan kirinya dipegangnya
sebuah batu tulis dan sebuah kotak yang berisi anak batu,
pensil, pena, dan lain-lain sebagainya; dan di tangan kanannya
adalah sebuah payung sutera kuning muda, yang berbunga dan
berpinggir hijau.
Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri
sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan
sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipinya sebagai pauh
dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju
dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari.
Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambahkan
manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi
lalat yang hitam. Pandangan matanya tenang dan lembut, sebagai
janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga
melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara
kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua
baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung, dan
pada kedua belah cuping telinganya kelihatan subang perak,
yang bermatakan berlian besar, yang memancarkan cahaya air
embun. Di lehernya yang jenjang, tergantung pada ranjai emas
yang halus, sebuah dokoh hati-hati, yang bermatakan permata
delima. Jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang
diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemahlembut,
bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya.
Dadanya bidang, pinggangnya ramping. Lengannya dilingkari
gelang ular-ular, yang bermatakan beberapa butir berlian yang
bemyala-nyala sinarnya. Pada jari manis tangan kirinya yang
halus itu, kelihatan sebentuk cincin mutiara, yang besar matanya.
Kakinya baik tokohnya dan jalannya lemah gemulai.
Menurut bangun tubuh, warna kulit dan perhiasan gadis ini,
nyatalah ia bangsa anak negeri di sana; anak orang kaya atau
orang yang berpangkat tinggi. Barangsiapa memandangnya, tak
dapat tiada akan merasa tertarik oleh sesuatu tali rahasia, yang
mengikat hati, dan jika mendengar suaranya, terlalailah daripada
sesuatu pekerjaan. Sekalian orang bersangka, anak ini kelak, jika
telah sampai umurnya, niscaya akan menjadi sekuntum bunga,
kembang kota Padang, yang semerbak baunya sampai ke manamana,
menjadikan asyik berahi segala kumbang dan rama-rama
yang ada di sana.
"Apakah sebabnya Pak Ali hari ini terlambat datang?
Lupakah ia menjemput kita?" demikianlah tanya anak laki-laki
tadi kepada temannya yang perempuan, sambil menoleh ke jalan
yang menuju ke pasar Kampung Jawa.
"Ya, biasanya sebelum pukul satu ia telah ada di sini.
Sekarang, cobalah lihat! Jam di kantor telepon itu sudah hampir
setengah dua," jawab anak perempuan yang di sisinya.
"Jangan-jangan ia tertidur, karena mengantuk; sebab tadi
malam ia minta izin kepada ayahku, pergi menonton komidi
kuda. Kalau benar demikian, tentulah kesalahannya ini akan
kuadukan kepada ayahku," kata anak laki-laki itu pula, sebagai
marah rupanya.
"Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan
baru sehari dua bekerja pada ayahmu, melainkan telah bertahuntahun.
Dan di dalam waktu yang sekian lamanya itu, belum ada
ia berbuat kesalahan apa-apa. Bagaimanakah rasanya, kalau kita
sendiri sudah setua itu, masih dimarahi juga? ......
bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar