Kamis, 03 September 2015

Untaian Makna

Menjadi saksi hadirnya pelangi di belantara kota
Beriring syahdu derai hujan
Pun sapaan lembut angin
Ronanya sentuh kalbu, menentramkan
Menguak memoar rasa diujung senja
Jua kukuhkan harmoni asa
Menambah rindu padaNya
Mengucap syukur pada Yang Esa


Bumi Air


Derai hujan hantarkan air
Menggenang dan biaskan cahayanya
Liputi ruang-ruang hampa yang sendu
Sempurna menambah lirihnya suasana
Riak air hapuskan dahaga dan angkara
Lahirkan ceria diwajah polos anak-anak
Semerbak wewangi tanah menggapai jendela-jendela kayu
Perlahan hadirkan nuansa syahdu
Kala jatuh dan tepercik riang, semesta menari
Menyatu bagai harmoni
Alam berbahagia
Burung-burung bergerombol riang
Rerumput bergoyang pelan
Kesejukan menyambut setiap asa, damai lagi tentram
Tak ada cacian, tersisa lembutnya hati
Beberapa terhenti, terpana
Sesaat menyapa setiap tetes derainya
Bumi laksana tempat terdamai
Sekejap lupa akan deru perang

A Poetry For You

Engkaukah itu
yang berpayah memandangi punggung luka
seakan saja baru merasai guncang duka
nyata aku yang rasa lalu kau buka
noktah pekat menjelma pilu
lantas menusuk bagai sembilu

Kitakah yang tersaruk
atau mereka yang mengutuk
pada binar yang pucuk
katamu lupai saja
mereka tak bersahaja

Lain hari mereka layu
pada terjangan deras bayu
lalu masihkah kita mengayuh
sampai berlabuh

atau terbatasi dan luruh

Rabu, 28 Januari 2015

Deras Sungai-Awan


Gumpalan awan halangi pandangku, kabur dan lembab kurasa. Ku hanya mampu meraba juga menerka jalan langkahku. Meniti likuan tapak serupa titik dalam bayang. Asa, ia turut berdenyut dalam nafas. Namun kau luput merayu, jua ribuan kunang bergemerlap. Hingga tak dapat kutemu kawan dalam gelap.
Adakah kau di ujung jalan ini? ataukah kabut yang menyerupa bayangmu?. Tak jua dapat beriku rasa dalam sentuh, pelangi dalam hidupku. Sekali-dua bayangmu hadir, hanya beriku nafas beberapa larik. Lari, sembunyi dan sempurna sirna. Tak kau sisakan sayap kunang untuk melangkah, hanya nyanyian sendu. Meluap-luap dalam derasnya sungai, awan menghendakinya. Hanya agar ia dapat bertahan dan memberi sejuk pada dunia. Lalu, dua-tiga cawan terpenuhi.

Adakah kau di dalam sana? ataukah angin yang menyerupa bisikmu?. Tak jua dapat beriku nada dalam lagu,  tawa dalam hidupku. Sayup bisikmu beriku nafas walau hanya sebait. Lalu berubah rintih dan syahdu. Sayup lalu melebur ditengah bisingnya alunan deras sungai. Lagi... Ia hanya ada untuk bertahan, tak juga beriku tenang.. 

Kamis, 15 Januari 2015

Pilar Part 2 (Cerbung Fiksi)

Part 2
Pemaparan selesai dan sesi diskusi dibuka. Ada banyak pertanyaan bergelayut dikepalaku saat ini, berebut mencari perhatian untuk diajukan. Beberapa tangan terangkat, moderator memilih tiga orang pertama.
Kang Zeista yang menjadi pemateri hari ini mencatat beberapa hal lalu segera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan moderator.  Sudah sejak lama ia banyak membaca literatur soal Zionis, Yahudi dan konspirasi-konspirasi besar. Bagiku bercakap dengannya seperti tengah menggali harta karun yang sudah terpendam ribuan tahun. Ia bilang mataku lebih berbinar jika membicarakan hal-hal itu. Kuakui memang benar. Materi ini yang paling menyita pikiranku. Memikirkannya membuat pikiranku melanglangbuana kesana-kemari. Pertanyaan-pertanyaan muncul, dugaan-dugaan berkembang. Namun, sulit menarik kesimpulan. Pengetahuanku belum sebanyak ia. Literatur yang kubaca masih terbatas.
Setelah materi usai aku bercakap dengan kang Zeista, berharap menggali lebih banyak harta. Namun, waktunya yang terbatas karena padatnya agenda membuatku urung bercakap lebih. Aku segera bertukar nomor handphone dengannya. Berharap dapat mengunjunginya atau bertemu dilain waktu.
Kepadatan aktivitas di kampus acapkali membuat pikiranku buntu untuk memikirkan hal-hal yang lebih besar diluar sana. Terjebak rutinitas, itu istilahku. Setiap hari hanya kuliah dan sibuk di beberapa organisasi. Organisasi yang terlalu banyak berbicara bagaimana caranya menempati posisi tertentu. Banyak mahasiswa baru yang dicekoki pemahaman semacam itu. Hingga lahirlah para calon pemimpin tidak ahli yang akan berusaha menempati posisi dengan cara apapun.
Tak tahan dengan segala rutinitas itu aku beralih mencari hal lain, yang benar-benar bisa membangkitkan semangat menuntut ilmuku. Beberapa kali mencari seminar-seminar dan kajian-kajian yang menarik dan baru untukku. Sampai pada hari dimana aku mengikuti kajian di sebuah mesjid sederhana di daerah jalan tikus menuju kampus.
 Awalnya tidak ada niat untuk ikut kajian itu. Karena yang tercantum di leaflet hanya ajakan ikut kajian berikut tempat dan waktu. Ketika adzan ashar berkumandang dan langkahku berada di sekitar mesjid itu, akhirnya aku melangkah masuk. Segera setelah shalat pemateri langsung menyampaikan makalahnya. Yang ada dipikiranku saat menyimak materi adalah darimana pemateri mendapat pengetahuan itu. Untukku pengetahuan itu begitu berharga. Buku-buku terbitan aslinya sulit didapatkan. Tentu saja karena kebanyakan dari ‘mereka’ tidak ingin aktivitasnya diketahui publik. Siapapun yang bisa membahayakan aktivitas mereka pasti dihapuskan
Ayahku meninggal sekitar lima bulan yang lalu, kematian yang tidak wajar untukku. Baru dua bulan pensiun dari perusahaan jasa paket kilat untuk menikmati masa tuanya yang tenang, hingga tiba-tiba maut menjemputnya. Ayah di usia tuanya masih sehat bugar, tidak ada penyakit apapun yang terdeteksi. Ia rajin olahraga dan mengkonsumsi makanan sehat sepanjang waktu. Ketika mendengar ayah terserang penyakit jantung aku hanya menggelengkan kepala. Aku menghubungi beberapa dokter yang pernah memeriksanya, namun tidak ada tanda-tanda ayah menderita penyakit jantung.
Tepat seminggu sebelum ajalnya tiba ayah mengajakku berkunjung ke rumah salah satu rekannya di Jakarta. Mereka sudah berkawan sejak sekolah menengah pertama tapi sudah lama tidak berjumpa karena kesibukan pekerjaan. Begitu datang kami langsung dipisahkan, ayah bersama rekannya dan aku menunggu di halaman belakang rumahnya sambil membaca buku. Rekan ayahku menyodorkan beberapa buku untuk membunuh rasa bosanku, aku memilih buku karya Syeikh Syakib Arslan soal beberapa kemunduran umat islam.

Kalau tidak salah mereka menghabiskan waktu 4 jam untuk berbincang, cukup untuk melahap habis dua buku yang disodorkan. Segera setelah itu kami dijamu dan bergegas pulang. Ayah cukup berbeda setelah kunjungan itu. Beberapa kali aku menyadari tatapannya kosong saat menonton berita. Tiga hari setelah kunjungan itu ayah sempat menghilang seharian tanpa kabar. Saat malam tiba-tiba ayah meracau. Kata-katanya kurang jelas di telingaku atau kalau tidak salah duga itu bukan bahasa Indonesia.

Part 3 coming soon, as soon as possible
https://www.facebook.com/notes/tajdidah-fikry/pilar-part-1-cerbung-fiksi/10151813262516006