Senin, 15 Oktober 2012

Ketika Cinta Menemukanmu


Cerita Pendek karya Helvy Tiana Rosa

                Apakah bintang masih ada di langit yang sama? Mak pernah berkata bintang-bintang dan rembulan itu akan selalu berpendar di langit, dan aku bisa menyaksikannya selama malam masih ada. Mak bilang aku dapat merasakan hangat matahari selama pagi dan siang setia mengunjungi bumi. Aku juga menyukai kilat yang datang kala hujan menderas, walau seharusnya mereka tak perlu menggelegar. Cukup beri cahaya, pendar meski sesaat.
                Tapi entah sejak kapan, hidupku dipenuhi gelegar kilat semata. Aku tahu itu bukan pertanda datangnya hujan, saat semua orang di sekitarku menangis, berlari sambil melolong ketakutan. Lalu satu-satu dari mereka jatuh menggelepar dengan tubuh bolong dan berdarah.
                Sejak saat itu, bintang, bulan dan matahari tak pernah ada di langitku. Hanya senapan, bom, darah, air mata dan nestapa saat aku menatap tanah yang kuinjak atau langit di atas kepalaku. Saat Mak dan Abu tak lagi bersuara selamanya karena harus ditanam dalam tanah. Tak ada apapun kecuali perih yang menyebar begitu cepat.
                Dan perih itu semakin mengganas menggerogotiku saat maha gelombang itu datang. Mereka menyebutnya tsunami. Namun nama itu terlalu sederhana dibandingkan dengan apa yang dapat dilakukannya. Tsunami meruntuhkan semua bangunan, gedung bertingkat, bahkan menara. Ia menggulung segala dan hanya menyisakan sedikit puing di antara genangan air, untuk kupandangi atas nama kenangan. Dua Cut Abang-ku hilang. Mungkin mati.
                Di dekat bundaran Lambaro itu seakan masih kulihat tumpukan mayat-mayat hitam yang berjajar. Ketika sadar, meski belum pulih, aku memaksakan diri mencari sosok Cut Abang disana. Siang, senja hingga malam datang dan aku harus menggunakan senter untuk mencari wajah yang kuakrabi bertahun-tahun itu. Pada mayat keseratus, aku menyerah. Tak ada Cut Abang. Dan aku tak mampu mencarinya lagi di antara ratusan mayat lain yang tersisa. Tanganku penuh lumpur, kebas, dan seakan tak bisa lagi digerakkan. Tangan itu kecil dan seakan semakin mengecil. Tak mungkin lagi aku menjamah bukit mayat dan memeriksa sosok di sana satu persatu. Hanya tangisan tanpa air mata dan rasa mual yang mengaduk perut sampai kepala.
                “Adik sayang, kamu melamun lagi?”
                Sapa lembut itu menyejukkanku. Cut ISma. Aku selalu menyukainya. Di wajah Cut Isma banyak bintang, begitu terang. Senyumnya mengingatkanku pada setengah garis lingkaran yang dibuat ibu guru di sekolah, atau seperti lengkungan pelangi terbalik. Cut Isma selalu tersenyum dengan hati. Dan kerudung putihnya lucu sekali, karena sering meliuk-liuk ditiup angin kencang yang selalu datang setelah tsunami melanda.
                Cut Isma masih kuliah tingkat akhir di Fakultas Kedokteran Syiah Kuala. Di sela waktunya, ia rutin ke pengungsian dan bersama Di serta teman-teman mereka yang lain, membagikan cinta kepada kami.
                “Lihat, siapa itu?” katanya berbinar namun dengan kening sedikit dikerutkan.
                “Di! Di!” Aku ingin melompat setinggi-tingginya dan memeluk laki-laki yang baru turun dari mobil putih rumah sakit itu.
                “Apa kabar Cut Nyak Dhien?”
                Lon baik. Lon….
                “Apa kamu sudah makan, Cut Nyak?”
                Aku mengangguk, tak bisa menahan tawa yang membuncah setiap kali melihatnya.
                “Jalan-jalan?” ajaknya
                Aku mengangguk lagi.
                Dan seperti senja-senja yang lalu, lelaki itu menggandengku pergi. meninggalkan Cut Isma yang melambaikan tangannya pada kami.
                Sebenarnya aku sudah lama mengenal Di, dokter muda dari Jakarta itu. Aku bertemu dengannya di dekat masjid Baiturrahman. Ia bilang, ia menemukanku pingsan di jalan. Aku tak ingat apa yang terjadi kecuali samar. Mak dan Abu terkapar di depan perahu besar yang tiba-tiba sudah berada di darat. Cut Abang hilang dibawa arus yang menggila. Seperti seekor sapi yang sekarat, aku hanya bisa melenguh. Beberapa orang menyeretku ke pinggir sesudah seseorang berteriak, “Dia masih hidup!” Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.
                Aku selalu ingin menangis saat teringat akan hal itu. Tapi air mata telah berubah menjadi lara yang menyergapku dalam setiap cuaca.
                “Siapa namamu?”
                Aku tahu namaku tapi aku tak mau mengingatnya. Tidak, sebenarnya aku tak ingat namaku. Aku ingin menjadi orang lain saja. Aku merasa sudah mati.
                “Sayang, siapa namamu?”
                Aku hanya diam dan tak pernah menjawab kala ia menanyakan namaku.
                Sekian lama dokter Di merawatku. Di membalut sendiri perban di kepala, lengan, dan kakiku. Lambat laun kami menjadi sangat dekat. Kami seperti teman. Makanya ia memintaku untuk memanggilnya Di saja. Sedang Di memanggilku “Cut Nyak Dhien.”
                Mengapa Di memanggilku Cut Nyak Dhien? Aku selalu ingin bertanya padanya.
                Dan seperti bisa menebak pikiran ini, suatu hari ia tersenyum lebar seraya menjelaskan, “Di pernah membaca, Cut Nyak Dhien itu artinya ‘gadis kecil yang manis’. Jadi Di memanggilmu itu saja, sampai  kamu ingat namamu. Lagi pula siapa tahu suatu saat kamu menjadi Cut Nyak Dhien baru yang membangkitkan Aceh kita sekali lagi! Ya, kan?”
                Aku ingin menangis waktu Di berkata seperti itu. Dulu setiap mau tidur, Mak sering menceritakan tentang para perempuan pahlawan Aceh. Ada Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Meurah INtan, Pocut Baren, Keumalahayati, Sultanah Safiatuddin Syah, dan masih banyak lagi. Karena itu Mak memanggilku… ah, aku taj juga bisa mengingat namaku. Aku tak mau. Biar kuingat saja nama-nama pahlawan perempuan itu
                Dan Di?
                Ia sering menceritakan hal yang membuatku tertawa atau membuat wajahnya yang tampan terlihat lucu. Di sangat menyukai anak-anak yang dijumpainya di mana saja. Juga yang kini tinggal di tenda-tenda pengungsian yang disebut Cut Isma “tempat penampungan yang tercinta” itu.
Betapa gembira bila aku bersama Di. Aku ingin selamanya Di tinggal di sini, di dekatku. Rasa tak enak tinggal berhimpit dan kedinginan dalam tenda tak ada artinya bila Di ada. Aku tak punya siapapun di sini, kecuali Di. Ya, Di dan Cut Isma. Orang menyebut mereka relawan karena mereka selalu rela melakukan apa saja untuk membantu kami di pengungsian. Aku tak bisa membayangkan bila aku tak bertemu mereka.
“Cut Nyak Dhien, ini rahasia antara kita, ya. Di suka sekali dengan perempuan Aceh. Mereka kuat, tegar, berjilbab. Ya, seperti Cut Nyak ini!” kata Di suatu hari.
Aku terbelalak sesaat. Di orang jawa. Dia suka perempuan Aceh. Perempuan Aceh akan suka pada Di!.
“Tapi menurut Cut Nyak, apa perempuan Aceh suka pada lelaki Jawa?” mata Di berkedip tak yakin.
“Ya, memang ada yang suka dan ada yang tidak. Kalau Cut Nyak Dhien?”
Aku mengangguk kuat-kuat.
Di tertawa. “Gadis kecil manisku, Di akan pergi mencari mie Aceh kesukaanmu. Ayo ikut! Kita ajak teman-temanmu yang lain!”
Tak ada hujan. Tapi hari-hari dengan Di menyebabkan pelangi. Dengan Di aku bisa menjadi Cut Kak bagi puluhan pengungsi kecil tak berayah ibu, yang tinggal di tenda sekitarku. Kami belajar, mengaji, dan bernyanyi bersama.
Di juga yang mengingatkanku untuk shalat tepat waktu dan tak henti berdoa.
“Setiap orang baik akan bertemu dengan orang baik lain yang dicintainya di surga,” ujar Di. “Itu janji Allah.”
Kami semua lalu berdoa bersama, agar kelak diperkenankan bertemu Mak, Abu. Abang, kakak atau adik kami di Jannah. Diam-diam aku selalu menambahkannya lebih panjang. Aku ngin bersama dengan Di dan Cut Isma juga di surga nanti.
Tak terasa, hampir dua bulan tsunami berlalu. Selama itu pula aku belum pernah lagi melihat hujan atau pelangi. Aku masih tak bisa, tak mau mengingat namaku. Bayang wajah Mak, Abu, dan Cut Abang masih muncul setiap jam. Tsunami mengejarku hingga ke dalam mimpi, namun Di dan Cut Isma menyelamatkanku.
Hari ini aku melihat Di tak seperti biasa. Ia sangat rapi dan harum. Ia datang ke dalam tenda kami sambil membawa koper dan ransel besarnya. Aku hampir menangis saat Di bilang ia harus pergi.
Mengapa? Tanyaku. Mengapa Di harus pergi? bukankah Di ingin tahu namaku.
“Ada yang harus Di kerjakan, Cut Nyak. Jangan bersedih, suatu saat Di akan kembali.”
Lon ingin ikut. Mataku berputar-putar, menengadah. Sebentar lagi air mataku akan tumpah dan aku tak boleh membiarkannya.
“Di pergi bersama Cut Isma.”
Cut Isma. Jangan. Lon tak ingin Cut Isma pergi juga.
“Cut Nyak pasti tak mengira. Kami akan menikah. Dan Cut Nyak Dhien yang telah mempertemukan kami.”
Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Tak boleh. Jangan, jangan pergi. jangan menikah.
Lon ingin ikut.
“Kalau kami kembali, kami berjanji akan melihat Cut Nyak.”
Lon belum nama Lon. Jangan pergi. suaraku tersekat. Selalu.
Tiba-tiba Cut Isma muncul dengan wajah bintangnya. Ia memelukku erat dan menciumi kedua pipiku.
Sore itu angina bertiup kencang. Dari baik tenda yang kumuh, aku menatap Di dan Cut Isma berjalan meningggalkan tempat pengungsian. Sesuatu merembesi batin. Ya, kesunyian yang tak pernah gagal merayapiku itu datang kembali. Cinta yang mulai kutanam berserakandi antara reruntuhan kalbuku. Dan kini aku sendiri di sini bersama para pengungsi yang merintih setiap hari.
Tak ada lagi yang akan menanyakan nama atau memanggilku Cut Nyak Dhien. Tiba-tiba aku teringat lagu yang pernah dinyanyikan Mak dalam sepi. Lagu tentang “gadis kecil yang manis.” Cut Nyak Dhien.
Saat itu aku ingat namaku. Aku harus terus mengingatnya, memakainya. Aku harus senang saat orang-orang memanggilku dengan nama itu di tengah ketakberdayaan yang beranak pinak dalam diriku.
Cut Nyak Dhien, Mak dan Abu ingin aku seperti Cut Nyak Dhien! Tapi siapa peduli? Adakah yang peduli bila aku juga mampu mengingat semua nama anggota keluargaku yang tewas? Adakah yang peduli bilau aku ingin seperti Cut Nyak Dhien?
Mataku menghangat. Basah.
Aku hanya gadis kecil usai 12 tahun yang dipenuhi lara. Bahkan mengucapkan nama diri dengan bibirku sendiri aku tak mampu. Hanya satu suara yang bisa keluar dari kerongkonganku: “Di!”
Untuk pertama kalinya setelah tsunami, gerimis turun senja itu. Tapi di Nanggroe yang terluka, hujan tak pernah menjanjikan pelangi atau sebuah nama.
Kutarik napas tak panjang. Ini Aceh. Meski nestapa dan sendiri aku harus tetap berdiri, sampai suatu masa cinta akan menemukan dan menyapaku kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar