Senin, 05 Mei 2014

(Resume) PENGUMPULAN DAN PENYUSUNAN AL QURAN


1.       Penulisan Al Quran pada Masa Rasulullah saw.
Madinah adalah tempat yang kondusif untuk mengajarkan Alquran. Untuk belajar Alquran para sahabat tidak pernah memedulikan rintangan apa yang harus mereka hadapi. Beberapa sahabat tidak menghiraukan jarak yang harus mereka tempuh untuk sampai ke mesjid tempat pengajaran Alquran. Tidak heran jika kemudian banyak sahabat yang hafal Alquran dan memahaminya di luar kepala. Tidak jarang Rasulullah meminta para sahabat untuk membacakan Alquran dihadapannya. Abdullah ibn Mas’ud adalah salah satu sahabat yang dimintai untuk membacakan Alquran dihadapan Rasul. Hal tersebut dikarenakan beliau senang mendengarkan bacaan Alquran dari pada sahabat.
Pada periode ini pengumpulan atau penjagaan Alquran dilakukan dalam dua cara; Al-Jam’u fi al-Shudur (dihafal) dan al-Jam’u fi al-Suthur (ditulis).
a.       Al-Jam’u fi al-Shudur (dihafal)
Rasulullah selalu menyampaikan wahyu yang turun kepada para sahabat, untuk kemudian menghafalnya. Dalam tradisi Arab menghafal adalah hal yang biasa. Mereka terbiasa menghafal secara turun temurun syair dan cerita.
“Menurut al-Suyuthi, pada masa Rasulullah, sudah ada majelis khusus menghafal dan mempelajari Alquran.” (Mattson: 11)
Pada masa Rasulullah, para sahabat fokus menghafal Alquran. Mereka menghabiskan waktu untuk menghafal, mengulang hafalan dan saling menyimak hafalan satu sama lain. Sehingga jika ada orang yang tidak menghafal Alquran akan merasa malu. Sebab hampir seluruh sahabat menghafal Alquran. Sehingga tidak heran jika hampir seluruh sahabat di Madinah hafal Alquran, hanya beberapa orang saja yang tidak hafal.
b.      Al-jam’u fi al-Suthur (ditulis)
Setiap Rasulullah menerima wahyu beliau menghafalnya dan menyampaikan kepada para sahabat untuk dihafalkan. Kemudian menurut berbagai riwayat yang shahih Rasulullah memanggil beberapa orang sahabat untuk menuliskannya. 
“Misalnya, Nabi berkata ketika turunayat 95 dari surat An-Nisa: ‘Panggilkan saya Zayd, dan hendaklah dia membawa tulang dan tinta kesini’.” (Baidan: 26)
Para sahabat yang terkenal dalam menulis wahyu di periode Mekah ialah ‘Abd Allah bin Abi Sarh, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib, al-Zubayr bin ‘Awwam, Khalid dan Aban, Hanzhalah bin al-Rabi’ al-Asadi, Mu’ayqib bin Abi Fathimah, ‘Abd Allah bin al-Arqam al-Zuhri, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Abd Allah bin Rawahah.
Sedang pada periode Madinah ialah Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abd Alah bin Mas’ud, Abu al-Darda, Mu’adz bin Jabal, dan lain lain.
Pada masa itu belum ditemukan cara pembuatan kertas, sehingga para sahabat mencatat ayat-ayat Alquran pada benda-benda yang mudah didapat. Para sahabat menuliskan ayat-ayat Alquran pada benda-benda berikut.
1.       Ujung pelepah kurma (al-usb0
2.       Batu-batu tipis (al-lakhaf)
3.       Kulit binatang atau pohon(ar-riqa’)
4.       Pangkal pelepah kurma yang tebal (al-karanif)
5.       Tulang belikat yang telah kering (al-aktaf)
6.       Kayu tempat duduk pada unta (al-aktab)
7.       Tulang rusuk binatang(al-adhla’)
(Mahyasin: 114)
Rasulullah tidak menyuruh mengumpulkan Alquran pada satu mushaf, disebabkan hal-hal berikut.
a.      Bahwasanya perhatian para sahabat tertuju pada penghafalannya di luar kepala dan telah banyak para sahabat yang hafal seluruh Alquran.
b.      Rasulullah saw. selalu berharap dan menunggu datangnya tambahan atau ayat yang menyisihkan (nasakh) sebagian lainnya.
(Mahyasin: 115)
2.       Pengumpulan Al Quran pada Masa Abu Bakar ra.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menjadi khalifah pertama yang memimpin umat Islam. Pada masanya banyak orang Islam yang lemah imannya menjadi murtad, lalu sebagian kabilah Arab tidak mau membayar zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi orang-orang tersebut. Sehingga terjadilah peperangan Yamamah pada tahun 12 Hijriah. Perang tersebut diikuti oleh sebagian penghafal Alquran.
Menurut riwayat, pada perang tersebut terdapat 70 orang penghafal Alquran yang mati syahid. Hal itu membuat Umar bin Khattab merasa khawatir bahwa suatu hari Alquran akan hilang seiring dengan kematian para penghafal Alquran. Beliau kemudian mengemukakan pendapatnya kepada Abu Bakar, bahwa diperlukan pengumpulan Alquran. Abu Bakar sempat ragu, karena ia khawatir hal tersebut termasuk bid’ah. Namun Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa usulannya tersebut untuk kemaslahatan umat. Akhirnya Abu Bakar setuju dan menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Alquran pada satu mushaf. Reaksi Zaid bin Tsabit tidak jauh berbeda dengan Abu Bakar, merasa khawatir hal tersebut termasuk bid’ah. Namun Umar dan Abu Bakar memaparkan alasannya sehingga Zaid bin Tsabit akhirnya setuju. Zaid kemudian mengumpulkan Alquran pada satu mushaf yang disimpan oleh Abu Bakar di rumahnya.
Yang menjadi sandaran utama penulisan Alquran yaitu harus terdapat bukti berupa tulisan dan hafalan para sahabat. Jika salah satunya tidak ditemukan, maka Zaid menangguhkan menuliskannya hingga keduanya (tulisan dan hafalan) dapat ditemukan.

3.       Penyeragaman Al Quran pada Masa Utsman ra.
Meluasnya kekuasaan Islam dan tersebarnya para penghafal Alquran ke berbagai tempat menyebabkan penduduk di berbagai tempat mengikuti bacaan para sahabat di tempat tersebut, sehingga;
a.      Penduduk kota Syam (Syiria) membaca Al-Quran mengikuti bacaan Ubai ibn Ka’ab (wafat tahun 20 H)
b.      Penduduk Kufah membaca Al-Quran mengikuti bacaan Abdullah ibn Mas’ud (wafat tahun 32 H)
c.       Penduduk kota-kota lainnya mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asy’ari (wafat tahun 44 H), dan begitulah seterusnya.
(Mahyasin: 123).

Segi bacaaan-bacaan mereka berbeda-beda, sesuai dengan huruf-huruf yang diturunkan kepada Rasulullah. Namun ternyata hal tersebut menimbulkan tanda tanya di benak umat Muslim yang tidak pernah mendengar langsung dari Rasulullah.
Ketika terjadi penaklukan Armenia dan Ajerbaijan, penduduk kota Syam dan Irak bertemu. Yaman yang ikut pada perang tersebut menyadari bahwa ada perselisihan diantara umat Muslim. Masing-masing mereka menganggap bahwa bacaannya yang paling baik. Yaman kemudian melaporkan hal tersebut pada Umar bin Khattab.
Mendengar berita tersebut, Umar merasa khawatir kalau hal tersebut dapat memecah-belah umat Islam. Sehingga ia memutuskan untuk bermusyawarah dengan sahabat yang lainnya. Lalu diambilah keputusan untuk menyatukan Alquran pada satu mushaf saja. Untuk kemudian dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan. Beberapa mushaf tersebut disebarkan ke kota-kota yang lain.

Daftar Pustaka
Mahyasin, M.S., (2005). Sejarah Alquran: Studi Awal Memahami Kitabullah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Mattson, I., (2013). Ulumul Quran Zaman Kita. Jakarta: Zaman.

Nashruddin Baiddan, (2005). Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar