Minggu, 01 April 2012

ANGIN HARAPAN YANG BERHEMBUS DARI KAMPUS

Oleh Nenden Lilis A.

Mengapa puisi masih ditulis? Dan, untuk apa ditulis? Dunia kita saat ini adalah
dunia yang semakin dicengkeram budaya materi. Nilai yang berlaku adalah nilai tukar.
Manusia pun dijadikan mesin bagi percepatan perputaran nilai tukar itu.Segala sesuatu
dituntut cepat sehingga menjadi serba praktis dan serba instan. Dalam dunia seperti ini,
manusia kehilangan ruang dan waktu. Ketenangan, kontemplasi, dan perenungan menjadi
begitu mahal. Tetapi, di tengah dunia seperti ini, mengapa masih ada yang menulis puisi,
bidang yang tidak praktis itu?
Mereka yang memilih jalan ini saat ini adalah mereka yang punya keberanian.
Betapa tidak. Yang mereka tempuh adalah jalan sunyi sepi dalam keterasingan sebab di
luar, dunia begitu gemerlap, hingar bingar dengan glamoritasnya, dengan hedonismenya,
yang demikian menggoda.
Ya. Memasuki jalan sastra adalah memasuki suatu wilayah dengan tantangan
yang tidak kecil. Mereka yang berhasil menelusuri jalan ini adalah mereka yang
menapakinya dengan penuh ketulusan dan keseriusan.
Jalan inilah yang kini tengah dimasuki dan ditapaki para mahasiswa Program
Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI
angkatan 2007 lewat kumpulan puisi yang mereka buat ini. Terlepas dari berbagai
motivasi di balik penyusunan antologi ini, yang mereka lakukan, mau tidak mau,
menjadi tanda bagaimana mereka telah memasuki wilayah itu, suatu wilayah yang
menunjukkan telah terjadi suatu pergulatan lain dalam kehidupan mereka. Bisa jadi
pergulatan itu baru sebatas anak muda yang sedang melakukan proses pencarian identitas,
tapi bisa jadi merupakan pergulatan yang telah didasari suatu kesadaaran sebagai individu
yang merasakan “panggilan jiwa” pada yang bernama puisi.
***
Siapapun boleh menulis puisi, termasuk para mahasiswa ini. Apalagi mereka
memang berkecimpung dalam suatu institusi sastra. Bukan zamannya lagi menganggap
bakat yang dibawa sejak lahir sebagai faktor utama dalam kegiatan dan keberhasilan
menulis. Bakat sesungguhnya terdiri atas 99% kerja keras / latihan, demikian kata
Einstein,ilmuwan kesohor itu. Artinya, menulis bukan hanya milik mereka yang dianggap
sudah diberi kemampuan itu dari sono-nya. Menulis, termasuk menulis puisi bisa
dipelajari. Dan keberadaan kampus, terutama jurusan sastra, sangat menungkinkan hal
itu.
Sejarah kesusastraan kita mencatat, betapa pentingnya peran kampus dalam
melahirkan para penulis, termasuk penulis puisi. Banyak sastrawan besar kita , tumbuh
dan berkembang melalui kampus. Sebutlah nama Umar Kayam, Bakdi Sumanto, Sapardi
Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi AG, dan masih segudang yang
lainnya tumbuh sebagai sastrawan melalui kampus.
Sekalipun sasrawan-sastrawan itu tidak semuanya secara langsung besar melalui
jurusan sastra, sangat dimengerti jika kampus menjadi lingkungan yang berperan dalam
menumbuhkan spirit itu. Selama ini kampus selalu diposisikan sebagai center of
excellence, agent of change, tempat tumbuhnya ilmu, tempat terjadinya persemaian
gagasan, dan tempat mengasah tradisi literasi. Justru sangat aneh jika kampus mandul
dalam melahirkan penulis.
Sangat menggembirakan tatkala kita melihat hingga hari ini kampus masih
melahirkan individu-individu yang memiliki gairah menulis dan bersastra. Ini adalah
angin sejuk yang memberi harapan bahwa kampus masih menjalankan fungsinya seperti
disebutkan di atas. Ini juga adalah suatu angin segar yang menimbulkan keyakinan bahwa
tidak semua anak muda larut dan terbawa arus budaya materi seperti dinyatakan di
atas.Masih banyak yang sadar akan perlunya menjaga dan menyeimbangkan hidup
dengan nilai-nilai spiritualitas. Lihatlah bagaimana para penulis dalam antologi ini
menggali tema religi, kritik sosial, persoalan moralitas ,dll dalam karya-karyanya, selain
banyak pula yang berbicara tema-tema psikologis individu.
Memang, sekian banyak puisi dalam antologi ini masih terasa sebagai curhat.
Masih dirasakan pula kegagapan-kegagapan dalam pengungkapannya. Mereka memang
masih dalam proses awal dalam mengasah kemampuan mereka. Semoga proses itu tidak
berhenti di tengah jalan, apalagi jika sekedar mengejar nilai formal perkuliahan. Semoga
spirit ini terus diasah dan dikembangkan dalam hidup mereka. Saat ini, dunia kita yang
semakin kering, memerlukan siraman, salah satunya dari puisi.***
*) Nenden Lilis A., penyair.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar