Sabtu, 14 April 2012

Lelaki Kabut dan Boneka

Lelaki itu tiada mempunyai wajah yang tetap, tetapi sebenarnya ia
ada. Ia selalu bersembunyi di balik rerimbunan kalimat yang
dibuat di jalan-jalan sejarah. Ia mengamati langit, bumi, matahari,
rembulan, kepekatan dan darah dari balik gumpalan kabut yang
diciptanya sendiri….
"Siapakah… lelaki… itu? Di…di… mana… dia?"
Orang-orang bertanya-tanya. Mengeluarkan suara gagap dengan tubuh
meremang gemetar. Wajah mereka pasi, serupa lilin-lilin di keheningan
musim dingin. Ya, mereka merasakan keberadaannya, tetapi mereka tak
yakin ia benar-benar ada. O, adakah lelaki yang bertahan hidup di balik
kabut selama itu? Dan sang lelaki, hanya ia sendiri yang mengetahui
bahwa ia sungguh ada.
Kelam merangkaki belukar malam. Kini lelaki itu kembali untuk
menebarkan nyeri dalam pekat. Di bawah sebuah pohon yang telah
meranggas, tangannya mengacung-acung ke udara, "Akulah semesta!"
Langit merah. Tanah pecah dan angin rebah. Kengerian berhembus
menerjang kabut, melewati lorong-lorong peradaban yang tergali oleh
waktu, membongkar kebiadaban diri di dasar yang paling sunyi. Ah, walau
Socrates hidup lagi, tak akan mampu untuk membawanya kembali ke
jalan perundingan.
***
"Aku akan menyiapkan semua," kata lelaki itu pelan sambil menyepaknyepak
kepala manusia yang berserakan di mana-mana. Diambilnya
sebuah tengkorak kepala kecil. Diamatinya beberapa saat. Pasti bayi yang
sangat mungil, pikirnya. Lalu dilemparnya tengkorak itu, seperti seorang
pelajar tanggung melempar batu pada pelajar lain di tengah kota. Angin
meniup benda itu, menerbangkannya hingga jatuh kembali entah di
mana.
Ya, angin memang selalu menerbangkan segala, juga kenangan. Bahkan
semua kenangan indah tentang diri dan keluarga. Tentang tanah airnya.
Kini yang tersisa adalah kebencian dan amarah. Dendam yang membelitbelit,
kabut dan tentu saja para boneka itu.
Tak akan ada yang mampu menghentikannya sekarang. Tidak juga
Tuhan, pikirnya pongah. Lelaki itu tertawa. Terbahak-bahak sampai keluar
airmata. Sebentar lagi ia akan menjadi manusia dambaannya: Si
Pemusnah. Ya, sebentar lagi ia akan sampai di puncak tujuannya:
memusnahkan tanah airnya sendiri!
Lelaki itu menatap ribuan boneka seukuran dirinya yang berada di
hadapannya. Boneka-bonenci. O, ia telah memindahkan letupan-letupan
angkara itu, gelegak laut dalam dirinya. Darahnya telah laut dan lautnya
berdarah dan….
"Berhentilah, Angkara! Berhentilah!"
Suara itu! Hanya suara itu yang berani memanggilnya demikian.
Perempuan itu! Perempuan yang bersamanya bertahun-tahun. Yang
menempati hati dan mengecup semua lukanya setiap saat, namun tak
sekali pun pernah memanggil namanya. Perempuan yang selalu
membuatnya sadar betapa berkuasanya ia, sang Angkara.
"Sunyi?"
"Ya, aku."
Sosok perempuan itu melayang dalam pandangannya, seperti baru saja
turun dari langit. Wajahnya masih pias seperti dahulu dan ia masih saja
menyukai baju-baju berwarna pucat dengan motif kembang-kembang
merah. Lelaki itu mengucek matanya sekali lagi kala melihat kembangkembang
itu mencair sebagai darah dan menetes-netes jatuh ke tanah.
"Mengapa kau kembali? Mengapa?"
"Aku tak kembali, sebab aku tak pernah pergi, Angkara."
"Kau sudah mati, Sunyi."
"Kau salah, Angkara. Kau yang telah lama mati."
"Mati? Aku tak bisa mati, bahkan bila aku mati!" suara lelaki itu terdengar
parau sesaat namun tetap menggelegar. "Kau tahu, Sunyi. Kalau pun aku
mati, aku akan mati bersama semua kehidupan di tanah ini."
"Dendam selayaknya hanya berhenti pada kata atau bergelinjang dalam
pikiran yang kerdil, tetapi ia tak boleh hadir di permukaan. Kau tahu
mengapa? Sebab Dia dan seluruh mahluk-Nya akan berpaling dari dirimu.
Jejak-jejakmu sebelumnya, bayanganmu pupus oleh kelam dendam yang
kau ukir pada seonggok darah dalam tubuhmu…."
Angkara mendesah. Mereka, seluruh orang di negeri ini pantas
mendapatkan itu, teriak batinnya. Bukankah selama bertahun-tahun
mereka merejam dan membunuh kemanusiaannya? Ya, bahkan tanpa
berpikir sedikit pun akan jasa-jasanya bagi negeri. Jadi mereka yang
menyulut peperangan ini. Orang-orang yang berbuat semaunya itu telah
merekayasa segala hingga ia menjelma orang sepotong. Jadi jangan
tanya ke mana perginya jiwa atau pun kemanusiaannya! Mereka telah
mencerabut itu semua dari dirinya dan menenggelamkannya dalam jelaga
lara tak berkesudahan yang membakar dada dan mencuatkan dendam
dalam langit-langit kepala.
Lalu ketika ada orang yang memberinya uang untuk membeli kepulauan
di luar negeri asalkan ia membuat tanah kelahirannya menjadi api, ia
tergeragap sesaat namun kemudian menganggapnya sebagai suatu tugas
suci. Ya, sebuah tugas suci untuk membersihkan segala yang ada dalam
negerinya dengan api. Hanya dengan api.
"Sunyi…," lelaki itu mendesah, memanggil perempuan yang selalu
dirindukannya.
Tetapi tiada jawaban.
"Kau tak pernah benar-benar ada, bukan?"
Sepi. Hanya kabut pekat menyelubungi.
"Kau hanyalah bayangan yang menarikan tari kebajikan untukku.
Memahatkan senyap yang menggigil dalam kalbu…," Lelaki itu mengusir
perih yang sesaat menusuk batinnya. Ia menarik napas panjang beberapa
lama.
"Sunyi! Sunyiiiii!" Ia terus memanggil perempuan tadi dengan suara yang
kian lama kian sengau. Sungguh, ia mencintai perempuan yang hidup di
batas khayal dan kenyataannya. Ia ingin perempuan itu melahirkan anakanak
mereka. Tetapi bukankah ia hanyalah keindahan yang tiada?
"Ayah! Ayah!"
Lelaki itu menoleh dan menatap ribuan boneka yang menghampirinya dari
berbagai penjuru, bagai kumpulan bocah taman kanak-kanak
menyongsong kedatangan ayah yang menjemput mereka dari sekolah.
"Aku telah melakukannya, ayah!"
"Kita berhasil, ayah!"
Mereka dengan mata menyala menggamit lengannya manja.
Meyakinkannya untuk melihat sesuatu yang telah mereka lakukan di
seluruh negeri. Dan dalam sekejap, lelaki itu merasa berada dalam
sebuah galeri yang memamerkan lukisan mahakarya yang tak seorang
pun mampu berkata kala memandangnya.
Dari kejauhan ia kembali mendengar gemuruh teriakan manusia, suarasuara
ledakan, tangisan bayi dan lirih para jompo memanggil-manggil
nama tuhan mereka. Ia dapat merasakan gedung-gedung yang runtuh
dan tubuh-tubuh yang pecah membentuk kepingan yang hampir sama di
udara. Ia mencium bau gosong dan merasakan geliat resah dan kesah
para pemimpin itu.
Hidung lelaki itu bergerak-gerak, menghirup dengan rakus aroma anyir
darah pada cakrawala, seolah itu adalah wangi kesturi.
Fffhuuihh, sebentar lagi ia akan keluar dari negeri yang poranda ini. Ya,
tak lama lagi, saat semua menjadi arang, hingga tak menyisakan
sejumput asa pun.
Ia bergegas ke tempat persembunyiannya yang jauh dari pusat kota.
Membaca semua koran yang diantarkan pesuruhnya. Hampir semua
mewartakan karya besarnya. Ia menyetel televisi. Matanya picing
menatap kegemparan yang menjadi mini di layar kaca. Rahangnya
mengeras dan gigi-giginya saling menggigit.
"Saudara, pelaku kerusuhan dan pemboman di sejumlah tempat telah
dapat ditangkap oleh aparat keamanan. Mereka adalah…."
Bibir lelaki itu melengkung ke bawah, sesaat kemudian ia terbahak-bahak
hingga airmatanya berlinangan. Ia menggoyang-goyangkan pantatnya di
depan wajah para aparat dan pejabat yang entah mengapa sesaat merasa
lega. Ia berjingkrak-jingkrak dan menarikan tarian aneh yang dulu hanya
bisa dibawakan oleh Calonarang.
"Tuhan tak pernah tidur, Angkara…," bisikan-bisikan Sunyi menerobos
setiap lubang udara yang ada di kediaman lelaki itu. Sesaat lelaki tersebut
merasa angin yang begitu kencang menampar-nampar wajahnya, entah
dari mana.
Tetapi lelaki itu tak peduli. Baginya Sunyi,Tuhan dan semua yang indah
hanyalah imaji risau yang melekat sesaat pada rona hitam hidupnya. Dan
dengan sekali kibasan, ia dapat mengusirnya.
Lelaki itu masih terbahak-bahak, masih berlinangan airmata. Kabut terus
bergerak membentuk gumpalan yang semakin pekat membungkus
dirinya. Di segenap penjuru negeri, para boneka bertepuk tangan.
Sementara itu orang-orang tak berhenti menggigil. Mereka tak mampu
lagi berjalan, hanya merangkak pada genangan merah dan tergelincir
berkali-kali. Setiap pagi, siang dan petang mereka menemukan lagi
tubuh-tubuh terbongkar yang membujur panjang, bagai jembatan tak
bertepi yang menghubungkan tiap daerah di negeri itu.
Dan mereka masih saja bertanya dengan tubuh meremang dan suara
darah: "Si…siapa… dia? Me…mengapa kalian belum juga…
menangkapnya?"

Helvy Tiana Rosa
1 Januari 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar