Kamis, 05 April 2012

CERPEN POLITIK: ASPIRASI ATAU PROPAGANDA?

Artikel Sastra/ Khazanah Pikiran Rakyat

Oleh Nenden Lilis A.

BERBICARA mengenai sastra dan politik selalu tak lepas dari kaitan-kaitan antara
karya sastra, sastrawan, masyarakat, dan negara (pemerintah) beserta kebijakankebijakan
dan ideologi-ideologi yang dianutnya. Hubungan antara keempat unsur itu
sudah diperdebatkan dan diperbincangkan sejak lama (sejak zaman Plato) dan kerap
menimbulkan peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan. Peristiwa-peristiwa itu contohnya
berupa pengusiran atau penjegalan sastrawan dan karyanya dari negara atau
masyarakatnya karena karyanya dianggap membahayakan nilai-nilai atau ideologi
(kebijakan) pemerintah dan masyarakatnya.
Terdapat daftar yang sangat panjang dari peristiwa ini: Boris Pasternak,
Solzhenitsyn, Anna Akhmatova di Rusia, Celine, Victor Hugo di Prancis, Wole Soyinka
di Nigeria, Taslima Nasrin di Bangladesh, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Mochtar
Lubis, Emha Ainun Nadjib di Indonesia, dan masih banyak lagi. Namun, hubungan
antara sastra dan politik juga tak jarang menimbulkan patronage dari pemerintah
terhadap sastrawan yang mau menjadi pendukung dan alat penyebar kebijakan politik
pemerintah.
Hubungan antara sastra dan politik di Indonesia sendiri, sudah terjadi sejak
zaman lampau, sejak zaman ketika para pujangga (sastrawan) mendapat pengayoman
para penguasa (raja). Hal itu terus berlanjut ke masa pemerintahan kolonial (Belanda).
Hal ini misalnya ditandai dengan munculnya karya-karya sastra pada tahun 1922 dan
1924, yakni yang ditulis Mas Marco Kartodikromo dan Semaun, yang menyuarakan dan
menyebarkan komunisme. Sementara itu, pemerintah kolonial sendiri mendirikan Balai
Pustaka yang menjadi alat penyebar ideologi dan kebijakan pemerintah jajahan dalam
penerbitan karya-karya sastra, sekaligus alat pengontrol dan pencegah bacaan-bacaan
yang tidak sesuai/membahayakan kebijakan mereka.
Di zaman Jepang, para sastrawan diraih untuk menyebarkan gagasan
kebangkitan Asia Raya demi kemenangan Jepang.Salah seorang yang terperangkap
dalam propaganda Jepang ini contohnya adalah Nur Sutan Iskandar.
Masuk ke Masa Kemerdekaan, terutama pada zaman Orla (sekitar 1960-an),
hubungan antara sastra dan politik ditandai dengan pertarungan antara kelompok Lekra
yang berpaham kiri dan mendapat pengayoman penguasa (Soekarno) dengan kelompok
Manifes Kebudayaan yang tidak menghendaki sastra dijadikan alat propaganda politik
kelompok tertentu.
Pada Zaman Orde Baru, yang terjadi berlainan dengan zaman-zaman
sebelumnya, sastra dan sastrawan cenderung berhadap-hadapan dengan penguasa.
Represivitas penguasa di berbagai bidang menyebabkan melimpahnya karya-karya
sastra yang didominasi kritik-kritik seputar sosial-politik yang sedang aktual pada waktu
itu yang melakukan resistensi terhadap penguasa. Pada masa ini para sastrawan
mendapat pengawasan ketat dari penguasa, dan yang dianggap membahayakan tak
segan-segan dicekal.

Cerpen Politik
Apa yang diuraikan di atas adalah beberapa gambaran kaitan sastra dan politik.
Gambaran tersebut akan menjadi lebih luas dan lebih panjang lagi apabila pengertian
politik itu sendiri tidak kita batasi.Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan melihat politik
dalam apa yang seperti digambarkan di atas, yakni yang mengacu pada pengertian
politik sebagai segala urusan, tindakan (kebijakan, siasat, dsb.) mengenai pemerintahan
negara (Kamus Besar Bahasa Indonesia) atau politik sebagai tindakan atau kegiatan
yang dipergunakan untuk mendapat kekuasaan dalam negara, masyarakat, atau lembaga
(Sapardi Djoko Damono).
Segala kebijakan dan tindakan tsb. selalu tak lepas dari ideologi tertentu yang
menjadi dasar/acuan tindakannya. Tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan itu pun
menimbulkan akibat-akibat tertentu di masyarakat. Oleh karena itu, pembicaraan
mengenai politik dalam hubungannya dengan sastra (dalam hal ini cerpen sebagai fokus
pembicaraan tulisan ini), tak akan lepas dari pembicaraan mengenai urusan-urusan,
tindakan-tindakan, siasat, kebijakan, ideologi dan kegiatan-kegiatan yang dipergunakan
untuk mendapat kekuasaan dalam negara, masyarakat, atau lembaga tertentu, serta
kondisi-kondisi masyarakat yang ditimbulkannya yang terdapat/tergambar dalam
cerpen dan yang direspon di dalam cerpen (baik berupa dukungan, maupun kritikan,
gugatan, dan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan itu dan
terhadap kodisi-kondisi yang diakibatkannya).

Aspirasi atau Propaganda?
Banyak sudah cerpen di berbagai belahan dunia ini yang berkaitan dengan
politik, baik yang menggambarkan kondisi masyarakat yang diakibatkan kebijakan
politik tertentu, yang mendukung dan menyebarluaskan paham politik tertentu, maupun
yang mengkritik/melawan suatu kebijakan politik.
Cerpen-cerpen yang mendukung dan menyebarluaskan paham politik contohnya
bisa dilihat pada cerpen-cerpen karya Maxim Gorki, Lu Hsun, John Steinbeck,
Pramoedya Ananta Toer yang secara sadar dibuat untuk mendukung dan
menyebarluaskan Marxisme dengan mengacu pada prinsip realisme sosialis yang
dicetuskan Gorki. Pada cerpen-cerpen mereka, pengarangnya secara sadar menjadikan
cerpen sebagai alat perjuangan kelas yang berpihak pada kaum
proletar/buruh/kerakyatan yang diasingkan dan ditindas sistem kapitalis.
Sementara karya-karya, antara lain Anton Chekov dan Solzhenitsyn melakukan
kritik terhadap pemerintahan Sovyet dan elite partai yang dengan paham di atas telah
menjadi penindas baru kaum buruh. Kritik dan perlawanan terhadap kebijakan
pemerintah dengan kondisi masyarakat yang ditimbulkan sebagai akibat kebijakan itu
juga muncul dalam cerpen-cerpen karya pengarang Indonesia, terutama pada akhir
masa orde lama (dapat dilihat pada cerpen-cerpen Angkatan 66) dan semasa Orde Baru.
Hal itu misalnya dapat kita lihat pada cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma, Ahmad
Tohari, Joni Aradinata, Agus Noor, Ratna Indraswari Ibrahim, Lea Pamungkas, dll.
Bahkan, pada cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa, kritik itu tidak hanya diarahkan pada
kebijakan pemerintah dalam negeri, tapi juga kebijakan politik internasional, terutama
yang berkaitan dengan penindasan-penindasan terhadap kaum Islam. Di belahan dunia
lainnya, misalnya Mesir, Nawal el-Saadawi melakukan kritik keras terhadap
kediktatoran pemerintahan Anwar Sadat.
Tatkala kita berbicara hubungan cerpen (sastra) dengan politik seperti di atas
selalu timbul masalah yang tarik-menarik antara prinsip-prinsip estetika sastra dan
kepentingan politik itu sendiri, apalagi terhadap sastra yang berpihak pada pengayom
atau paham politik golongan/negara tertentu. Dalam hal ini selalu timbul pertanyaan
seputar aspirasi dan propaganda yang cenderung dominan disuarakan cerpen-cerpen
politik.
Sebetulnya, tanpa dihubungkan dengan politik pun, saya melihat pada umumnya
karya sastra selalu menyuarakan - atau paling tidak- mengandung aspirasi dan
propaganda. Itu jika kita melihat aspirasi sebagai harapan dan tujuan untuk suatu
perbaikan dan keberhasilan di masa yad, dan propaganda sebagai suatu penerangan
(paham, pendapat, dsb.) yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar
menganut atau mendukung sikap dan pandangan tertentu (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia).
Pengarang, seperti juga anggota masyarakat lainnya, memiliki visi-misi-aspirasi
dalam kehidupannya. Visi-misi-aspirasi ini eksplisit/implisit akan tercermin dalam
karyanya, dan visi-misi-aspirasi itu dikemukakan dalam karyanya tiada lain untuk
mengajak pembacanya mengikuti/mendukung visi-misi-aspirasi tsb.Sebagai contoh,
tatkala seorang Ahmad Tohari menggambarkan keprihatinan terhadap nasib wong cilik
dalam karya-karyanya, ia secara tidak langsung punya harapan/aspirasi akan perbaikan
nasib kaum tersebut dengan cara mengajak pembaca ikut memiliki keprihatinan yang
sama terhadap mereka yang selanjutnya dapat memikirkan dan memperlakukan mereka
pada nasib yang lebih baik.
Yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada aspirasi atau propaganda dalam
cerpen politik, namun pada persoalan cara menuangkan aspirasi atau propaganda itu
dalam karya, serta bagaimana seharusnya isi karya sastra; bagaimana dengan karya
sastra yang sekedar dijadikan alat menyebarluaskan suatu paham politik dan melakukan
pemihakan?
Pada dasarnya, sastra –meminjam istilah Goenawan Mohamad- mengandung
pengabdian/peran yang tak cuma untuk dirinya sendiri di tengah dunia yang penuh
masalah.Ia tak bisa mengabaikan realitas dengan hanya mengotak-atik hal-hal teknis
dan formal dan hanya mementingkan estetika bentuk seperti dikehendaki paham seni
untuk seni. Namun, ia juga tak bisa kehilangan kebebasan dan kemerdekaannya dengan
hanya mengabdi pada pengayom atau kepentingan politik tertentu karena akan hilang
kejembaran pandangan dan wawasan dan sifat keuniversalannya, dan jatuh menjadi
sesuatu yang sempit dan picik atau jatuh menjadi sekedar dogma dan jargon. Ia pun tak
sekedar mementingkan isi karena akan kehilangan hakikatnya, dan ia seharusnya tidak
sekedar menonjolkan aspirasi karena hanya akan berhenti sebagai aspirasi.
Cerpen (karena merupakan salah satu bentuk sastra), seperti tugas-tugas sastra
lainnya, seperti pernah dinyatakan Budi Darma, adalah membentuk jiwa humanitat,
yakni manusia yang halus, manusiawi, dan berbudaya. Hal ini akan terjadi apabila
dicapai sopistikasi estetika bentuk dan isi. Inilah yang membedakan sastra dengan jenisjenis
tulisan lainnya. Yang dicari pembaca dari sastra adalah karena penuangannya yang
berbeda dari jenis-jenis tulisan lainnya karena kalau isi/aspirasi saja bisa dicari
pembaca dalam bentuk/ jenis tulisan lain di luar sastra.
Ini tidak berarti sastra membatasi aspirasi sebab pada kodratnya sastra memiliki
peran, dalam istilah Mathew Arnold, sebagai criticsm of life (kritik kehidupan). Ia
menjadi pengontrol dari berbagai kecenderungan negatif dalam kehidupan. Ia selalu
berpihak pada kemanusiaan dalam artinya yang luas dan dalam, dan selalu ingin
memperbaikinya.Aspirasi dengan demikian, hendaknya muncul dengan menampakkan
wawasan luas, sikap jembar, dan pandangan ke depan.
Dalam kaitan ini kita tampaknya perlu bersetuju dengan apa yang pernah
diungkapkan Budi Darma bahwa agar hal itu bisa tercipta, pengarang harus mampu
menjaga jarak antara sastra di satu pihak dan emosi serta aspirasi di pihak lain, baik
sebagai individu, maupun sebagai wakil dari kesadaran kolektif agar sastranya terbebas
dari pencemaran emosi. Dengan demikian, estetika tetap terjaga.
Sejarah membuktikan karya-karya yang seperti inilah yang menjadi abadi dan
tak habis-habis dan bosannya dikenang, serta menjadi universal di segala zaman, segala
masyarakat, dan segala tempat. Aspirasi tidak verbal, langsung, dan satu sisi sehingga
karya itu –meminjam ungkapan Agus Noor- menjadi dunia cerita yang meluahkan
kekayaan makna, yang membuat kita tak bosan-bosan menafsir dan merebut makna
darinya.
Karya-karya cerpen yang telah disinggung di depan, sekalipun berisi aspirasi
politik, seperti cerpen-cerpen Gabriel Garcia Marquez, Anton Chekov, merupakan
karya-karya universal karena pengarang tidak hanya berhenti pada aspirasi politik
secara harafi, mereka menggali esensi dari aspirasi itu dan menuangkannya dalam
karya yang benar-benar mempertimbangkan estetika.
Pada cerpen-cerpen Maxim Gorki, sekalipun secara isi ia tak menjaga jarak dari
aspirasinya sehingga karyanya terasa melankolik, karena terjadi pengolahan estetika,
terutama dalam pengungkapan bahasanya, menjadi karya yang tetap dikenang hingga
sekarang.
Adapun pada Pramoedya Ananta Toer, di tengah cerpen-cerpennya yang
mengandung nilai-nilai universal, pada beberapa cerpennya kadang-kadang kita temui
sikap menggebu-gebu menonjolkan aspirasi politiknya sehingga tendensi politik itu
sangat terasa.Hal itu misalnya bisa dilihat dalam cerpennya “Sunat” dan “Makhluk di
Belakang Rumah”. Tokoh-tokoh, alur, bahasa tampak menjadi sekedar kendaraan
menyuarakan gagasan dan aspirasi pengarang . Dalam cerpen “Sunat” misalnya,
aspirasi Pramoedya sebagai yang berhaluan kiri sangat terasa ketika ia menampilkan
tokoh-tokoh pemuka agama Islam dengan pandangan yang agak menegasi , seperti
penggambaran tokoh haji yang gila kawin dan kyai yang tak pernah gosok gigi.
Dalam cerpen “Makhluk di Belakang Rumah”, pengarang menciptakan tokohtokoh
kaum buruh (babu) yang amat menderita di bawah penindasan majikannya hingga
si babu mati dengan kematian yang tragis akibat penderitaan itu. Penderitaan ini pun
dibumbui pula dengan komentar-komentar pengarang. Cerpen menjadi terkesan
emosional dan kurang memberi makna yang lebih luas.
Pada cerpen-cerpen masa Orba, aspirasi sosial-politik sangat kental dan
dominan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pembangunan yang
sifatnya materil dengan mengabaikan pembangunan spirituil, terjadinya represivitas,
dan kesenjangan penguasa dengan rakyat, banyak diangkat dan dikritik dalam cerpen.
Tak jarang, di dalam banyak cerpen, karena didorong tendensi sosial yang sangat tinggi,
yang terasa adalah risalah-risalah sosial yang permukaan, tanpa pendalaman estetika.
Hal ini menyebabkan karya yang dihasilkannya bersifat temporal/sementara. Konteks
menjadi berpengaruh besar dalam hal ini. Cerpen-cerpen tsb. terasa sangat kuat pada
saat konteks sosial yang diacunya masih berlangsung dan aktual. Tatkala saat yang
diacunya berlalu, kekuatannya seolah melemah. Cerpen “Kematian Paman Gober” Seno
Gumira Ajidarma misalnya, terasa kuat ketika Soeharto masih berkuasa. Ketika
Soeharto tumbang dan karya itu kita temukan lagi dalam bukunya yang terbit pada masa
reformasi, kekuatan yang kita rasakan sebelumnya tidak terasa lagi.
Masa sekarang, cerpen kita dari segi bentuk dan isi lebih terasa beragam.
Cerpen-cerpen politik pun masih bermunculan. Dengan kondisi yang lebih terbuka,
bagaimana aspirasi dituangkan dalam cerpen-cerpen tsb. dan sejauh mana kekuatannya,
tentunya masih kita tunggu.***

(Penulis adalah cerpenis dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar