Selasa, 22 Mei 2012

Kepada Tuan Teroris karya Helvy Tiana Rosa



 Ini adalah salah satu puisi favoritku dari buku antologi puisi 'Mata Ketiga Cinta' karya Helvy Tiana Rosa

Suatu hari lepas tragedi 11 September kau berkata pada dunia, berulangkali
dengan mulut api, “Usamah bin Ladin adalah teroris!”

Tapi pada saat yang sama kau kerahkan pasukan serbu
Afghanistan mencari Usamah bin Ladin. Ribuan rakyat tak  berdosa mati dengan jasad terbongkar. Tanah gering menyerap darah tak rela. Usamah tak ada di sana
Kau masih berterik-teriak gelegar ke setiap penjuru, menciutkan nyali banyak negeri. “Usamah, Abdullah, Umar, Muhammad, Ibrahim” itulah nama-nama para teroris, katamu dan kau menyebut penuh prasangka nama-nama para ulama dalam daftar yang sungguh panjang
Pada saat yang sama, kau sang pemimpin polisi dunia, menikmati pertunjukkan di Palestina sambil memaki para pejuang kemerdekaan Palestina sebagai teroris serta bersalaman dengan Sharon sang penjagal
Padahal Palestina berjuang untuk merdeka dari kebiadaban Zionis Israel
Di sana anak-anak kecil berkafiyeh melemparkan batu pada penjajah
namun tangan dan kaki mungil itu dipatahkan, orangtua mereka dibantai dan dipenjarakan. Setiap hari di Palestina setiap diri mati berkali-kali. Tuhan, bagaimana kau bisa menyebut mereka yang terjajah dan tak berdaya itu sebagai teroris, sementara sang aggressor kau sebut sebagai pencinta damai? O, betapa hebat kau menyusun kata mengalahkan semua penyair, juga membentuk opini dunia.
“Mari perangi terorisme!” katau. Dan seperti yang dilakukan ayahmu tahun 1991 saat ia menjatuhkan 88  ribu ton bom di Irak---jumlah yang setara dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkan di Hiroshima---
kau  gempur kembali Irak dengan ganas, tak peduli airmata para bayi pemilik negeri, maka mayat-mayat berserakan, gedung-gedung hangus dan runtuh. “Itulah balasan  pemilik persenjataan berat!” katamu. Padahal negeri itu hanya kaya minyak: sesuatu yang tak pernah kau punya
maka lagi-lagi aku membaca ngilu di Koran, mendengar tangis di radio dan menonton darah di televise, lantas terkejut ketika kau sebut-sebut juga negeriku
Indonesia, O, negeri para kuli, di sanalah sarang para  teroris. Bisik-bisik itu, isyaratmu ditulis jadi berita semesta, yangan-tangan dunia menuding kami.
Tapi, meski begitu, kuteriakkan padamu kini: kau adalah Hitler: adalah Ariel Sharon, adalah Slobodan Milosevic: Dan pertanyaan-pertanyaan ini kulontarkan kembali:
Benar kau murni memerangi terorisme internasional? Lalu mengapa untuk memburu seorang Usamah kau harus membantai ribuan muslimin Afghanistan? Kalau kau konsisten memerangi terorisme, mengapa hanya orang-orang Islam yang kau perangi? Mengapa teroris yang bukan Islam tak kau gubris? Mengapa bila hak asasi umat Islam di negaramu atau di mana saja ditindas kau bungkam?
Sebaliknya mengapa jika ada seorang saja muslim yang melakukan tindak kekerasan dicap sebagai teroris? HAM ditanganmu pedang bermata dua yang melibas kaum Muslimin. Demokrasimu democrazy belaka.
Maka begitulah. Kutulis puisi ini dengan dada nyeri . kurasa tak perlu bagus apalagi berestetika tinggi. Sebab puisi ini hanya untukmu: Tuan Teroris. Kukirimkan bersama ludahku tepat diwajahmu.

Cipayung-Senayan, 28 September 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar