Selasa, 22 Mei 2012

Sajak Februari



1
Cinta adalah rasa
Yang kuucap dalam setiap desah
Dan cuaca
Tak sampai getarnya padamu
2
Setiap hari embun meneteskan kesetiannya pada pagi
Seperti aku yang tak pernah berhenti menari
Dalam mimipi tentangmu
Dan jatuh
3
Maka kutanyakan pada mungkin
Ia memandangku dengan mata kaca
Mengecup luka dan berkata
Pergi dan pakailah kerudung air matamu
Sebab taka da tempat untuk cinta di sini
4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pecninta
Pasti akan menderita
Tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
Hingga malaikat pun sudi mengecup
Semua luka kita yang mawar
Engkaukah itu yang berkata, cinta?
Sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau
5
Di dalam bus yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
Aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
Hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu

Di antara dinding dingin di sekitar kita
Kau cari aku hari itu
Tapi kau tak tahu
Aku telah mencarimu bermusim-musim
Dan selalu hanya pilu
Yang memeluk dan membujukku
:Pulanglah, kau sudah begitu lelah
6
Begitulah
Kata telah lama berhenti
Pada napas dan airmata
Dimanakah kau, dimanakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
Dan cinta terus sembunyi
7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
Aku telah lama kau campakkan
Ke pantai paling rindu itu
Tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
Meski dengan luka yang paling badai
8
Begitulah perempuanmu
Memintal lalu mengurai kembali
Kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
Menitipkan kilat asa di mataku
Yang menjelma beliung
Namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
Selalu kutemukan jejak juga napasmu
Di jalan raya kehidupanku

Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
Tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin bisa saling memandang lama
Melepas beliung abai yang menyiksa selama ini
9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu

Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
Sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
Ada yang lebih penting kau selesaikan
Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
Aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku
Tapi katamu, kau akan datang setelah urutan selesai.
Bagaimana kau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?
Kita teridam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
Suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
Beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
Mungkin sebentar lagi gerimis

Dalam sepi ini tiba-tiba kita pun teringat
Perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
Yang tak bisa dirumuskan

Ketika kau pulang senja itu
Aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
Untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
Tak semua kebersamaan
Harus jadi monument
Ladang lebih baik dibuang
Biar usang dalam tong sampah
10
Dan akhir adalah permulaan
Kau aku tak pernah menapaki permulaan
Juga mungkin tak pernah sampai
Pada selesai
Seperti puisi yang kutanam
Di kuntum hatimu
11
Hai
Katamu aku tetap perempuan itu
Tak henti menyelami lautan huruf
Demi yang Maha Cinta

Dan kau sangat tahu
Atas nama cinta pula
Telah kuputuskan berhenti
Menuliskan kenangan tersisa
Titip tanpa koma
Pada Februari ke lima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar