Bismillahirrahmanirrahim
Ini cerpen karya taj untuk tugas apresiasi prosa (praktikum), di tengah perasaan yang berkecamuk, berkecambah, hihi. Entahlah perasaan apa ^^
Silahkan di baca, semoga menikmati..
Menatapi indahnya bulan bersama teman-teman
sepermainanku di genteng itu sangat mengasyikkan. Semilir angin di bulan maret
yang cukup dingin, tak mampu mengurungkan niat kami untuk melanjutkannya esok
hari. Kami tak hanya diam disini. Sesekali menuliskan sesuatu di kertas kecil
yang nampak habis di remas-remas, bahkan terkadang sudah bercampur tinta coklat
berpola polkadot atau bahkan tak beraturan.
“Atos atuh neng tong nulis heula, tingal tuh
bulanna meuni endah pisan” protes sahabatku Euis. Aku hanya tersenyum tipis,
lalu kembali menulis sesuatu.
“Ah da si Emon mah nulis wae, jiga nu kapake wae
tulisanna” ucapan yang ini hanya lewat di telinga kananku dan hilang tertiup
angin. Aku masih saja asyik menuliskan sesuatu.
“Ah geus ah, hayu urang balik weh” ajak Upong
sambil bersiap turun.
“Nya jug atuh, kade ah bisi labuh” Aku sedikit
menimpali ajakan Upong dan lalu kembali menulis.
Di kampungku ini, kami sudah seperti keluarga
sendiri. Bermain hingga tak ingat waktu di sawah, sampai mandi bersama di
sungai yang cukup jernih. Aah yang terakhir itu, itu dulu. Sekarang tentu saja
tak lagi karena kami sudah cukup besar dan malu. Ya, tentu sudah cukup besar
sebab kami sudah menginjak bangku kelas VIII SMP.
Seumuran kami di kampung ini berarti menikah,
salah satu tahapan terpenting dalam hidup seseorang. Bagiku? Tentu saja aku tak
mau terburu-buru. Membuat sambal saja aku belum mampu,bisa dibilang aku ini
anak yang jarang membantu orang tua. Sedangkan, berdasarkan kebiasaan di
kampung ini, anak seumuran kami yang sudah mampu membuat sambal sudah layak
untuk menikah. Mungkin itu salah satu alasanku selalu menolak saat diminta
untuk membuat sambal, selain karena rasa malas yang bergelayut.
# # #
Entah
apa yang emak pikirkan, ia nekat menyekolahkanku ke SMP. Padahal aku tau benar
bagaimana perjuangan beliau. Untuk sesuap nasi pun beliau harus susah payah
menjual tenaganya, menjadi tukang koran di pinggiran kota. Perjalanan ke sana
saja sudah cukup melelahkan, aku tahu karena pernah mengikutinya. Emak
melarangku membantunya mencari uang, ia selalu bersikeras agar aku harus terus
sekolah, bahkan kalau bisa sampai universitas. Aah emak, terlalu jauh citamu
itu.
Bagiku,
melanjutkan sekolah sampai SMP saja bagaikan mimpi. Bagaimana tidak, di
kampungku hanya sedikit orang yang bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang
ini. Aku tak tau benar kenapa emak
bersikeras menyekolahkanku sampai lulus universitas, hingga suatu hari kelak
akan ku ketahui. Beliau ingin aku jadi orang yang sukses, bermanfaat dan tidak
miskin seperti saat ini.
Kau
tau, namaku saja sudah cukup membuat aneh orang-orang di kampung. Ya, aneh
sekali Emakku menamaiku Lemon. Sejenis buah yang rasanya asam itu. Suatu hari
aku pernah menanyainya soal itu.
“Aah
atos atuh Emon, teu kedah ditaros deui perkawis eta mah. Ayeuna mah sok di ajar
sing sumanget”
Jawaban
Emak yang sangat tidak memuaskan, menambah kegalauan hatiku. Duile pake galau
segala. Tentu saja, bagaimana tidak. Saat guruku di sekolah menanyai satu
persatu arti nama siswa di kelas, hanya aku yang tak tau apa artinya. Kontan saja
teman sekelasku tertawa terbahak.
“Haha
si Emon mah bodo. Maenya we teu apal arti ngaran sorangan” gaya bicaranya yang
super cuek itu berhasil membuat aku cemberut untuk beberapa jam kemudian.
Kau
tau, aku cukup gamang dengan kejadian itu, ah dasar anak kecil. Desakanku pada
emak tak berbuah apapun. Yang ada aku hanya dapat omelan bapak, dibilang mengganggu
konsentrasinya. Alhasil Emak menyuruhku mengirim beras untuk guruku. Ya beras,
tidak usah bingung begitu. Di kampung ini guru dibayar dengan beras bukan
dengan uang. Kau tau mengapa?, sebab uang lebih susah didapat dibanding beras
di kampungku. Hektaran sawah terhampar indah dan menyejukkan mata.
Guru
dikampungku bisa kau hitung jari. Ada 2 sekolah dasar dan satu sekolah menengah
pertama, jumlah seluruh gurunya hanya ada 3. Satu guru mengajar di sekolah
dasar dan sisanya di SMP. Mungkin terdengar seperti sinetron yang
dilebih-lebihkan. Namun, kenyataannya memang begitu. Satu guru di sekolah dasar
itu mengajar enam tingkat kelas, berbolak-balik dari satu kelas ke kelas yang
lain. Menjelang ujian nasional tiba, murid kelas I sampai V biasanya
diliburkan. Bagaimana tidak, guruku itu harus memberikan pelajaran ekstra untuk
murid kelas VI. Ironis memang,
Suatu
hari Emak dengan bangganya menyebut diriku calon guru yang akan mengajar di
kampungku ini. Aku hanya cengengesan, umurku baru tujuh tahun saat itu.
Belumlah ada sama sekali keinginan untuk memikirkan cita-citaku. Menjadi guru?
Wah kurasa itu sulit, mungkin aku akan lebih memilih menjadi penggembala yang
bisa menjelajah satu tempat ke tempat lainnya tanpa larangan siapapun.
Cita-cita yang aneh bukan, mengingat diriku sebagai perempuan. Selain karena
ingin menjadi penggembala, hal lainnya karena aku enggan dibayar dengan beras.
Sawahku memang tidak sampai berhektar-hektar, namun sudah cukup untuk makan
sehari-hari. Ya tentu saja dengan catatan, makanku bisa tanpa lauk kalau emak
tak membawa uang sedikitpun.
Pengalaman
keluarga kami yang jarang makan dengan lauk pauk, membuat kami akhirnya
memutuskan untuk menanami sebagian halaman rumah kami yang tak seberapa itu.
Kami menanaminya dengan beberapa tumbuhan. Yang paling banyak kami menanaminya
dengan wortel dan kol, dan satu tanaman yang tentu tak bisa kami lewatkan
adalah tumbuhan cabe. Keluarga kami penggemar rasa pedas, dan aku rajanya.
# # #
Sudah
seminggu ini senyumku tersamarkan lara. Bapak, meninggalkan kami ke luar
negeri. Menjadi TKI ke Malaysia. Beliau memutuskan berangkat kesana karena
sebentar lagi adikku harus meneruskan sekolah ke SMP. Umur kami hanya terpaut
satu tahun saja, membuat bapak selalu bingung mencari uang saat tahun ajaran
baru di mulai. Ya seperti saat ini, sawah dan ladang kami tahun ini tak begitu
banyak membuahkan hasil.
Perpisahan
itu membuatku ngilu, tak pernah terbayangkan sebelumnya bapak akan meninggalkan
kami dalam waktu yang lama. Beliau bilang akan berada di sana sekitar tiga
tahun. Beliau tak akan bisa menyaksikan saat aku tamat SMP nanti dan tentu saja
tak bisa mengantar adikku di hari pertamanya sekolah nanti. Hal yang biasa
beliau lakukan pada anak-anaknya.
Seminggu
kepergian beliau, aku masih sering melamun dan berdiam diri di kamar. Memilih
menjauhi keramaian, terlalu banyak mata yang tertuju padaku. Mata-mata yang menatapku penuh tanya, aku yang berubah jadi
pemurung setelah bapak pergi. Aku yang ceria dan ramah kini jadi pendiam dan
introvert. Kawan-kawanku tak sanggup membuatku tersenyum tulus, mereka hanya
mampu menatapku lirih. Memandang dari kejauhan dan kadang sambil berbisik. Aku
tak mampu bercerita tentang perasaanku pada mereka. Aku hanya kuasa bercerita
pada dinding, boneka pemberian bapak bahkan pada angin semilir sore hari.
# # #
Sore
itu aku tengah bersandar di dipan kamarku, menatapi langit kamar yang satu dua
sudah membentuk lubang yang menganga. Adikku memasuki kamar, berlari dan
bersegera menelungkupkan wajahnya. Seakan dapat melihat keherananku, ia hanya
menyuruhku menghadap ibu di teras halaman. Berjalan gontai, menyeret kaki
dengan enggan. emak terlihat tengah berbincang dengan kepala desa, terdiam
begitu melihatku keluar.
“Kemari
nak”, aku mendekatinya masih dengan kaki yang ku seret, malas benar.
Emak sempurna memelukku, menciumi
kening dan pipiku. Janggal. Emak tak pernah melakukannya padaku meski aku tahu
beliau sangat menyayangiku. “Ada apa mak?”. Emak menatapku sekilas lalu beralih
menatap pak kepala desa, seperti tengah meminta penjelasan. “Bapakmu ditemukan
meninggal di gang sempit pinggir rumah majikannya nak”. Demi mendengar hal itu
aku meloncat kaget dari pelukan emak. Mencari mata Emak yang cukup basah,
menunggu klarifikasinya, atau lebih tepatnya menunggu dakwaannya. Bapak
meninggal?. Aku tak sempat memikirkan kemungkinan terburuk itu saat bapak
bersikeras untuk menjadi TKI. Emak hanya mengangguk, seketika itu aku hendak
terbang ke langit ke tujuh dan mempertanyakan kenapa hal ini bisa terjadi
padaku. Perlahan mataku memanas,
tenggorokanku mengering. Air mata mulai meleleh, emak meraih pergelangan
tangan dan hendak memelukku lagi. Aku menghindari pelukannya. Berlari menuju
kebun, menginjak tumbuhan kecil yang menghalangi jalanku. Menendang apa saja
yang ku anggap menganggu, memelototi siapa saja yang memandangku keheranan.
Berjalan bagai banteng terluka hebat, menabrak ibu-ibu yang tengah berjualan.
Kakiku terantuk batu beberapa kali, untuk kesekian kalinya aku mengerang.
Namun, membabi buta. Berlari tanpa tahu tujuanku kemana. Rasamya ratusan meter
sudah aku lewati, jika sedang lomba lari nampaknya akulah yang memenanginya.
Menang telak. Mega tengah menutupi mentari, membuat bayangku jadi tak begitu
jelas. Aku terkulai, lemas sudah. Segera aku ingin menyusul bapakku, memeluk
jenazahnya. Menciuminya meski aku benci bau kapur barus yang menyengat.
Aku segera memasuki hutan terlarang,
yang hanya boleh dimasuki lelaki dewasa dengan senjata. Tentu saja artinya
tidak untuk anak perempuan sepertiku. Aku berpasrah, hendak berlari entah
sampai kapan. Berlari berlari dan berlari, berharap akan membuatku baikan.
Mengikuti langkah kakiku kemanapun ia melangkah. Mentari sempurna sudah
tertutup mega mendung. Kumulonimbus terlihat dan semakin mendekati hutan
terlarang ini. Aku tak mengacuhkannya, hanya berdiri menatap awan itu. Rasanya
mega pun memihakku hari ini, menambah lara berlipat ganda. Mungkin ini saatnya
aku terkapar di hutan yang tak satupun akan mengenaliku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar